Kita meruntuhkan mitos demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak saling menguntungkan...
Singapura (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia telah meruntuhkan beberapa mitos tentang demokrasi, termasuk mitos hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi.

"Kita meruntuhkan mitos demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak saling menguntungkan secara eksklusif," kata Presiden saat menyampaikan pidato di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Senin.

Ia menjabarkan, beberapa dekade lalu Indonesia gagal memilih dua tujuan penting. "Apa banyak demokrasi tapi pertumbuhan ekonomi rendah atau pertumbuhan ekonomi tinggi tapi sedikit kebebasan politik," katanya.

Namun kenyataannya, ia menjelaskan, demokrasi makin kuat seusai reformasi dan pertumbuhan ekonomi terus membaik selepas krisis 1998.

"Kita telah mencapai demokrasi yang solid dengan tiga periode pelajaran 1999, 2004 dan 2009, dan pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi sekitar enam persen," kata Presiden.

"Itu menunjukkan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dapat saling mendukung," tambah dia.

Presiden menjelaskan, ia mengadopsi empat strategi pembangunan yang meliputi pro-pertumbuhan, pro-pekerjaan, pro-pengentasan kemiskinan dan pro-lingkungan supaya penguatan demokrasi berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Strategi yang ditunjang prinsip pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan ini bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif, jelas dia.

"Saya juga mempromosikan pasar domestik yang tahan dan vibran. Strategi ini efektif tetap menjaga perekonomian Indonesia dari pelemahan ekonomi dunia," kata Presiden.

Menurut Presiden, Indonesia juga meruntuhkan mitos bahwa demokrasi dan Islam tidak bisa berjalan bersama.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kata dia, Indonesia telah membuktikan bahwa demokrasi dapat berjalan beriringan dengan Islam.

Selain itu, lanjut dia, Indonesia telah mematahkan pemikiran bahwa demokrasi membutuhkan kelas menengah yang banyak.

Presiden memaparkan, saat pertama kali pemilihan umum multipartai 1999, kelas menagah Indonesia relatif kecil, sekitar 25 persen dari seluruh populasi atau sekitar 45 juta orang.

Dalam dua kali pemilihan umum berikutya, para pemilih secara konsisten tinggi, rata-rata 77 persen, angka pemilih tertingi di dunia di antara negara-negara demokrasi terbuka.

"Itu artinya antusiasme untuk berdemokrasi tinggi di seluruh tingkatan masyarakat, baik kaya, kelas menegah dan yang miskin," katanya.

"Mereka penuh semangat mendatangi ke bilik suara karena percaya bahwa suara mereka diperhitungkan dan relevan untuk masa depan," katanya.

Indonesia, menurut dia, juga meruntuhkan mitos bahwa demokrasi akan menghancurkan persatuan.

Yudhoyono menambahkan, saat krisis terjadi lalu muncul reformasi, banyak kalangan yang mengatakan Indonesia akan menjadi seperti Balkan, runtuh dan bercerai berai.

Namun kenyataannya, kata Presiden, demokrasi justru telah mengikat Indonesia yang majemuk lebih kuat dari sebelumnya.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013