berjalan sampai lima jam pergi pulang. Sekarang karena sudah terbiasa, tinggal empat jam,"
Palu (ANTARA News) - Indrawati guru teladan dari gunung Dusun Topesino, Desa Mantikole, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah,  sudah banyak meraih penghargaan dari pemerintah maupun swasta.

Dia mendapat Kartini Award pada 2011 sebagai satu-satunya perempuan yang mampu menaklukkan terjalnya gunung dan curamnya lembah demi mengajar ke daerah yang terisolir.

Dia adalah Indrawati, perempuan Kelahiran Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 17 Mei 1974.

Penghargaan yang menurut dia paling bergengsi dan membesarkan jiwanya adalah anugerah pahlawan untuk bidang pendidikan dari MNC TV pada November 2012.

Ia pun bangga berjabat tangan dengan Ketua DPR RI Marzuki Ali saat penyerahan anugerah itu.

Ia juga pernah meraih penghargaan sebagai guru berdedikasi di daerah terpencil pada September 2012. Penghargaan ini pula yang mengantarkannya masuk ke Istana Negara, tempat presiden berkantor.

Sudah 10 tahun mengabdi sebagai guru honor di daerah terpencil, Indrawati tidak saja menghadapi sulitnya medan ke tempat mengajar, tapi juga harus berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang tertinggal jauh dari lajunya perkembangan dan kemajuan zaman.

Masyarakat di tempatnya mengajar itu hanya menikmati kedap-kedipnya lampu Kota Palu di malam hari, dari jauh di ketinggian gunung. Mereka sendiri tidak pernah menikmati bagaimana terangnya lampu listrik seperti di kota.

Indrawati menghadapi masyarakat tani tradisional yang masih suka berpindah-pindah tempat bercocok tanam.

Hampir semua masyarakatnya belum bisa bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia. Begitupun dengan anak-anak mereka.

"Ini benar-benar tantangan. Tidak ada yang mau mengajar di sana walaupun dibayar dua kali lipat dari gaji pegawainya," kata Indrawati, akhir pekan lalu.

Agar bisa sampai di tujuan, Indrawati bersama tiga orang rekannya harus menempuh waktu empat jam pulang pergi. Padahal jaraknya hanya sekitar 10 kilometer dari desa induk, Mantikole, Kecamatan Dolo Barat.

"Dulu waktu awal-awal saya mengajar di sana, biasa berjalan sampai lima jam pergi pulang. Sekarang karena sudah terbiasa, tinggal empat jam," katanya.

Selama 10 tahun mengajar Indrawati tidak pernah merasakan bagaimana menggunakan sepatu bertumit tinggi, seperti halnya guru-guru lainnya yang mengajar di kota.

Dia harus menggunakan sepatu yang alasnya bergerigi, layaknya sepatu bola. Model sepatu ini menjadi pilihan Indrawati agar bisa menembus buruknya jalan setapak yang kadang berlumpur saat musim hujan.

Dalam kondisi seperti itu jalan pun licin. Gerigi sepatulah yang bisa mengerem licinnya jalan itu.

Sudah letaknya jauh, jalannya ekstrem, sekolah tempat mengajarnya pun menyedihkan. Dinding dan atap sekolah itu hanya terbuat dari deaunan. Sekolah ini pun kemudian dikenal dengan sekolah daun.

Sekolah itu dibangun secara gotong royong atas partisipasi masyarakat di sana. Walaupun kondisi sosialnya tertinggal, tetapi sebagian masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Sekolah daun pun dimanfaatkan hingga sekitar sembilan tahun lamanya.

Sekarang sudah ada gedung semi permanen, namun dibangun terpisah dari sekolah daun sebelumnya.

Sekolah inilah yang melayani anak-anak dari empat titik kelompok masyarakat yang mendiami wilayah itu. Antarkelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya dipisahkan oleh batas sungai dan gunung.

Anak-anak yang menuju sekolah pun harus melintas sungai satu ke sungai lainnya dan gunung satu ke gunung lainnya. Anak-anak itu harus menenteng pakaian dan buku menyeberang sungai.

Sejak sekolah daun itu beroperasi tahun 2007, saat ini sudah memiliki sekitar 70 orang murid. Sebagian di antara mereka sudah melebihi batas usia sekolah dasar.

"Bagi kami itu tidak masalah. Walaupun umur mereka sudah lewat, tapi karena lihat mereka mau belajar, saya minta kebijakan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka akhirnya tetap bisa sekolah," kata Indrawati.

Sebanyak 14 murid dari sekolah itu, Senin (6/5) akan mengikuti ujian nasional di sekolah induk SD Negeri Mantikole.

"Ini Insya Allah ini lulusan pertama sekolah kami," kata Indrawati.

Indrawati terpanggil jiwanya mengajar di daerah terpencil setelah melihat kondisi anak-anak di wilayah itu yang sangat tertinggal.

"Mereka juga anak-anak bangsa. Kalau tidak ada yang mau memperhatikan, ya siapa lagi. Jujur, saya mau mengajar di sana karena sedih melihat anak-anak yang tidak pernah sekolah," katanya.

Dengan kondisi masyarakat yang jauh tertinggal, Indrawati tidak mendapat imbalan yang setimpal dengan pekerjaannya itu. Pengorbanannya jauh lebih besar dari apa yang ia peroleh secara materi.

Bahkan dalam kondisi hamil lima bulan pun ia masih menyempatkan diri memanjat gunung. Menerobos jalan belukar seorang diri.

"Karena jauh, saya selalu menginap seminggu. Nanti hari libur baru turun ke kampung," katanya.

Untuk kelangsungan ekonomi sehari-hari, Indrawati dan tiga orang anaknya hanya ditopang oleh suaminya yang membuka usaha perbengkelan di kampung.

Saat ini Indrawati mengungsi ke Desa Mantikole bersama keluarganya karena desanya, Binangga, Kecamatan Marawola, belum kondusif dari bentrok antarwarga. Ia masih memilih bertahan di Mantikole sambil menunggu Desa Binangga benar-benar aman dari konflik antarwarga desa bertetangga.

Nyaris Putus Semangat
Kondisi ekonomi Indrawati tidak sebaik nasib ekonomi dari guru lainnya yang sudah berstatus pegawai negeri sipil. Kehidupan ekonomi perempuan beranak tiga itu masih menyedihkan, apalagi ia mengabdi di sebuah kawasan terpencil nan miskin.

Tahun 2012 merupakan tahun harapan akan membaiknya pendapatan ekonomi Indrawati.

Dia bergembira karena namanya masuk dalam data Kategori Satu (K1), karena sebentar lagi ia akan mendapat gaji dari negara sebagai pegawai negeri sipil.

Namun harapan itu sirna seketika, saat finalisasi K1 diumumkan Desember 2012. namanya tidak muncul lagi dalam daftar K1.

Nama perempuan yang sudah 10 tahun mengabdi untuk bangsa itu hilang entah ke mana.

"Saya sempat stres juga. Saya bingung nama saya mentok di mana. Waktu verifikasi dan uji publik, nama saya masih ada. Begitu pengumuman final nama saya di K1 tidak muncul lagi," katanya.

"Saya kejar sampai di Menpan (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Saya juga sudah menghadap Bupati Sigi. Tapi tetap tidak tahu ke mana berkas saya," kata Indrawati.

Dia bertambah sedih setelah mengetahui ada nama yang masuk dalam K1, tapi tidak pernah menjadi guru honorer.

"Saya sedih sekali, yang tidak pernah menjadi tenaga honor lulus," katanya.

Kesedihan itu kata dia, hanya bisa ditumpahkan kepada wartawan. Medialah kata dia, sebagai mitranya yang diharapkan bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah.

"Tolong saya," ujarnya.

Untungnya, stres yang dialami Indrawati tidak menyurutkan semangatnya menjadi pengabdi di bidang pendidikan.

Di hari pendidikan nasional 2 Mei 2013, Indrawati kembali mendapat penghargaan sebagai guru berdedikasi di daerah terpencil.

Ia terpilih bersama dua guru lainnya. Ia pun mendapat hadiah berupa satu unit sepeda motor.

Pada hari bahagia itu, Indrawati berharap bisa bertemu dengan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola.

 ingin menyampaikan keluhannya kepada orang pertama di provinsi itu.

Namun keinginannya untuk bertemu dengan Longki Djanggola tidak terkabulkan karena Longki sedang dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Amerika Serikat.

Kekecewannya itu terobati sedikit setelah dirinya menerima surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam surat itu, Indrawati mendapat undangan mewakili Indonesia melakukan studi banding ke Turki pada 23-31 Mei 2013.

Ia akan bertolak ke negara itu bersama 17 guru berdedikasi lainnya di Indonesia.

"Saya tidak menyangka turun dari gunung menuju Turki," katanya berbangga.

Rencananya sebelum bertolak ke Jakarta ia ingin bertemu dengan Gubernur Longki Djanggola.

Ia ingin menyampaikan bahwa dirinya membawa nama Sulawesi Tengah ke Turki.

"Tolong pertemukan saya dengan pak Gubernur. Biar Pak Gubernur hanya bantu tiket saya ke Jakarta," katanya.

Indrawati mengatakan dirinya sudah beberapa kali hendak bertemu dengan gubernur, namun selalu gagal. Ia bahkan pernah rela menunggu di tengah antrenya tamu-tamu gubernur, namun lagi-lagi gagal.

"Mungkin karena saya orang kecil sehingga sulit bertemu pejabat," katanya.

Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013