Membela negara itu wajib hukumnya. Termasuk ke dalam jihad fisabilillah"
Jakarta (ANTARA News) - K.H. Hasyim Asy'ari duduk termenung di rumahnya, memikirkan nasib negerinya.

Sang Kiai, diperankan oleh Ikranagara, prihatin negerinya terus menerus dijajah. Setelah ratusan tahun dijajah Belanda, Jepang yang mengaku menjadi saudara tua menduduki Indonesia.

Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) dan adik-adiknya pun tak kalah gundah karena Jepang sebentar lagi mendekat ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Mereka melihat banyak ulama yang ditangkap Jepang karena dituduh memimpin gerakan anti-Nippon.

"Banyak hal yang bisa dibicarakan, tetapi kalau menyangkut akidah, tidak bisa," kata sang Hadratus Syaikh kala itu, merujuk pada penolakannya untuk melakukan seikerei.

Tentara Jepang pun menuduh Hasyim Asy'ari sebagai penyebab kerusuhan di Cukir. Demi keselamatan ratusan santri Tebuireng, Hasyim pun mau dibawa oleh tentara Jepang.

Perjuangan Hasyim Asy'ari tidak berhenti di situ, setelah bebas, ia bersama putranya Wahid berjuang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari mendirikan Masyumi hingga Barisan Hizbullah.

Pro dan kontra dialami sang Kiai, termasuk dari salah satu santrinya yang setia, Harun (Adipati Dolken) yang menganggap gurunya itu kini memihak Jepang.

Nasionalisme

Melalui film ini, penonton diajak untuk melihat sekelumit pemikiran K.H. Hasyim Asy'ari tentang negara. Film ini memotret kisah hidup pemimpin Tebuireng itu dalam periode 1942-1947, zaman pendudukan Jepang dan setelah Indonesia merdeka.

Dalam salah satu adegan, Hasyim ASy'ari yang sedang bercakap-cakap dengan putranya Wahid mengemukakan pendapat mereka tentang agama dan nasionalisme.

"Nasionalisme dan agama itu tidak berada dalam kubu yang berbeda. Justru dari agama, lahirlah nasionalisme," kata Wahid, yang diamini sang ayah.

Pun ketika Bung Karno, melalui utusannya, bertanya mengenai hukum membela negara, ia langsung mengumpulkan cendikiawan muslim untuk membahas hal ini.

"Membela negara itu wajib hukumnya. Termasuk ke dalam jihad fisabilillah," kata Hasyim Asy'ari.

Agus Kuncoro sebagai salah satu pemain berpendapat salah satu pertimbangannya mau terlibat dalam film ini adalah karena ia melihat sekarang ini rasa nasionalisme di kalangan anak muda menipis. Mereka, generasi  muda sekarang, menurutnya lebih mengenal pahlawan asing seperti Che Guevara dan Abraham Lincoln. 

"Pejuang dalam negeri, kita cuma tahu mereka jadi nama jalan, tapi nggak tahu perjuangan mereka seperti apa demi kemerdekaan Indonesia," tuturnya.

"Nggak gampang lho, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan," katanya, ketika berperan sebagai Wahid Hasyim, ayah dari mendiang Abdurrahman Wahid.

Media film ini menurutnya menjadi salah satu cara untuk menunjukkan bangga menjadi orang Indonesia.

Senada dengan Agus, aktris Christine Hakim (Nyai Kapu, istri Hasyim Asy'ari) berharap film ini menjadi salah satu cara agar generasi muda mengenal sosok-sosok pahlawan nasional.

"Nanti idolanya malah 'Iron Man'. Mau ke mana bangsa ini kalau tidak bisa menghargai para pendiri bangsa," katanya usai pemutaran film "Sang Kiai" di Kuningan, Jakarta, Selasa (21/5) malam.

Meski membuat buku ini berdasarkan biografi Sang Kiai, sutradara Rako Prijanto mengaku memasukkan beberapa karakter fiktif, seperti tokoh Harun yang diperankan Adipati Dolken.

"Saya butuh karakter yang mewakili pandangan masyarakat sekitar, untuk perbandingan sehingga cerita bisa bergulir," jelasnya.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013