Jakarta (ANTARA News) - Penerapan harmonisasi frekuensi 700 MHz di Indonesia setelah 2018 menyebabkan kerugian 16,9 miliar dolar AS atau lebih dari Rp165 triliun, demikian penelitian Asosiasi GSM Internasional (GSMA) dan The Boston Consulting Group.

"Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mengalihkan televisi analog di frekuensi 700 MHz pada 2017 hingga 2018. Penelitian kami menunjukkan potensi keuntungan jika peralihan itu lebih awal dan kerugian jika harmonisasi setelah 2014," kata Direktur Senior GSMA, Chris Perera, di Jakarta, Kamis.

Parera mengatakan harmonisasi frekuensi atau alokasi frekuensi untuk layanan seluler di 700 MHz setelah 2014 akan menciptakan pertumbuhan GDP 39,1 miliar dolar AS (lebih dari Rp383 triliun), menciptakan 145 ribu aktivitas usaha baru, dan meningkatkan penetrasi Internet di kawasan pedesaan sekitar 30 persen.

"Frekuensi ini merupakan pita frekuensi yang sangat ideal untuk menyediakan akses Internet seluler ke area terpencil di Indonesia," kata Parera.

Jika akses Internet telah menjangkau daerah pedesaan, lanjut Parera, masyarakat di daerah itu dapat mengakses aplikasi-aplikasi pendidikan dan kesehatan yang bermanfaat, bukan hanya menikmati akses suara.

Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (ITU) mengamanatkan migrasi layanan analog di seluruh dunia ke teknologi digital tersetrial pada 2015.

"Di Indonesia Frekuensi 700 Mhz itu masih digunakan untuk televisi analog dan penyelenggara televisi merasa ragu untuk melakukan perubahan ke digital karena akan ada pengurangan penonton seiring dengan ketiadaan dekode atau set-top box gratis," kata Parera.

Namun, Parera tidak menyebut secara rinci bagaimana penghitungan keuntungan dan kerugian dalam penelitian tentang harmonisasi frekuensi setelah kesepakatan "Digital Dividend" itu dilakukan.

Pewarta: Imam Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013