Hongsha, China (ANTARA News) - Hujan rintik turun titik demi titik. Tak padat tapi cukup membasahi dedaunan. Seekor burung kuntul (egret) berbulu putih berparuh kuning terbang mencari tempat di pepohon yang sudah penuh. Dia akhirnya terbang memutar dan mencari pepohonan lain.

Sementara si jambul kuning mengepak sayap seakan mau terbang tetapi ternyata hanya ingin mengibaskan air hujan di sayapnya lalu kembali ke posisi enaknya.

Desa ini seperti surga bagi kuntul yang datang entah dari mana. Mereka aman dan tak ada yang mengganggu.

Pada menara pengintai berlantai empat sejumlah juru foto yang menempati lantai dua hingga teratas mengintip diam melalui mata lensa.

Mereka enggan bersuara karena mengenyahkan momen yang dinanti. Pada sejumlah burung agaknya tau bahwa merekalah modelnya sehingga kepakan sayap yang gemulai sekali pun akan mengundang serentetan petikan kamera beragam lensa di bangunan pengintai.

Surga burung ini ada di Hongsha, tak jauh dari kota pelabuhan Fangchenggang. Surga itu bermula ketika Huang Shuyu (kini 99 tahun) memberi makan pada kuntul liar yang singgah dekat rumahnya pada puluhan tahun lalu.

Perlahan jumlah burung yang singgah semakin banyak, bertambah dan berlipat. Kini pada musim singgah burung-burung berkaki panjang dan berbulu putih itu bisa mencapai 20.000 hingga 30.000 ekor.

Tidak semuanya ingin mendapatkan makan gratis. Sebagian besar hanya ingin singgah di pohon-pohon tinggi di Dusun Hongsha. Mungkin mereka ingin menikmati kebersamaan atau mungkin menikmati kenyamanan karena bebas dari usikan manusia.

Penduduk Hongsha memperlakukan burung-burung liar itu dengan kasih sayang seperti Kakek Huang memperlakukan mereka.

Setiap hari Kakek Huang memberi makan ikan kecil. Tidak sekadar melempar, tetapi menyuapkan ke mulut mereka. Dia menyuapi seperti menyuapi anak atau cucunya.

Huang seperti memiliki kemampuan bahasa burung sehingga burung tak khawatir dipegang dan dielus.

Huang hari itu mengenakan topi anyamannya untuk berlindung dari rintik hujan. Dibalik topi berwarna cokelat itu rambut putihnya sudah tumbuh jarang sehingga kepala terlihat botak.

Sebelas, dua belas burung mendekat. Dua terlihat sangat jinak mendekat seakan ingin dipeluk untuk mengusir dingin.

Burung kuntul yang sekilas seperti bangau ditemukan di banyak tempat di dunia. Sebagian besar berwarna putih. Rombongan kuntul biasanya berkelompok dekat genangan air, baik dekat laut maupun daratan dan mencari makan di tanah basah.

Biasanya mereka mampu berdiri diam hingga binatang yang jadi mangsanya datang lalu paruhnya yang panjang seperti pedang itu mematuk dan memakannya.

Sebagian besar mereka memangsa ikan, tetapi tidak sedikit yang memakan makhluk amfibi, ular, tikus dan binatang kecil lainnya.

Burung kuntul membuat sarang di atas pohon di dekat air dalam kelompok atau koloni. Mereka monogami dan kedua orang tua akan mengerami empat telur di sarangnya di atas pohon.

Kuntul muda terkadang agresif dan memangsa saudaranya yang lemah sehingga tidak semuanya bisa selamat dalam dua hingga tiga minggu setelah menetas.



Peternak Tiram

Surga burung itu berada tak jauh dari tambak rakyat dan budi daya tiram (oyster) dan perikanan lainnya. Kelompok usaha yang beranggotakan 480 petani itu berusaha menjaga kealamiahan ternak ikan mereka.

Deng Qiang ketua peternak tiram tersebut mengatakan jika dia menggunakan bahan kimia mungkin akan mendapat hasil berlipat dalam empat hingga lima tahun tetapi kemudian hasilnya akan menurun dan negara tujuan akan menolak karena tiram dan ikan yang dikirim berbahan kimia.

Fangchenggang memang bukan sekadar Hongsha dan peternakan tiram karena kota berpenduduk sekitar satu juta itu sesungguhnya dipersiapkan untuk pelabuhan di selatan China.

Kota pelabuhan di Provinsi Guangxi ini didirikan untuk mengembangkan perdagangan ASEAN-China. Kedalaman laut di dekat pantainya menjadikan dia ideal sebagai kota pelabuhan.

Guangxi adalah provinsi satu-satu di China yang berbatasan darat dan laut dengan tetangga sebelah, yakni Vietnam.

Di kota pelabuhan ini dilayarkan sebagian besar hasil industri dan pertanian dari China Selatan, Vietnam, Laos dan Kamboja ke seluruh penjuru dunia.

Tak jauh dari pelabuhan dibangun industri baja Fangchenggang Zhongyi Heavy Industri Co.Ltd yang membangun banyak proyek di China dan luar negeri, seperti di India, Bangladesh termasuk kilang LPG di Surabaya.



Camelia Emas

Keistimewaan lain dari Fangchenggang adalah teh bunga camelia emas yang tumbuh di daerah ini. Sekitar 90 persen camelia emas di dunia hanya tumbuh di perbukitan rendah (100-200 meter dari permukaan laut) di Pegunungan Shi Wan Da Shan di Fangchenggang sehingga kota ini dijuluki Rumah Camelia Emas.

Banyak manfaat pada bunga camelia, diantaranya baik untuk diet, mengatur peredaran darah, gula darah, tekanan darah dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Wakil CEO perusahaan teh Gui Ren Tang, Cen Renuri, mengatakan teh camelia emas sangat mahal, yakni 10.000 Rnb (renembi) per 60 gram. Satu Rnb sekitar Rp1.600.

Sementara 60 gram teh daun camelia emas antara 100-1.000 Rnb, tergantung kualitas dan bagian daun mana yang digunakan.

Perusahaan yang didirikan pada 2001 itu memproses teh dengan teknologi tinggi dengan rata-rata produksi 1.000 ton, sedangkan untuk produksi teh ekologi asli sebanyak 300 ton saja.

Teh diproses dengan cara modern dan juga tradisional. Kini tehnya sudah mendunia, tetapi untuk teh camelia emas akan sulit mendapatkannya karena acap kali untuk kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi.

Di Rumah Camelia Emas ini forum China-Southeas Asia High Level People to People yang dihadiri tokoh masyarakat dari partai politik, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat China dan negara Asia tenggara ditutup. China agaknya ingin terus mempromosikan kota pelabuhan andalannya di selatan pada dunia, minimal pada masyarakat Asia tenggara.

Oleh Erafzon Sas
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013