Jakarta (ANTARA News) - Berlibur ke Bali bagi kebanyakan anak muda adalah bermain ke pantai-pantai atau bertualang di sungai dan menikmati petualangan seperti "surfing", "snorkeling", "tubing", "bungee jumping", belanja "ti took" barang bermerek serta menikmati wisata kuliner yang sekarang mudah ditemukan di pulau wisata terpopular di Indonesia itu.

Nilam Zubir melihat sisi lain dari gemerlap tempat hiburan di Bali.

Remaja berusia 17 tahun ini justru tertarik pada pura, candi dan peninggalan sejarah di pulau yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu.

Dari penjelajahannya ke pulau Dewata, Nilam Zubir menulis buku berjudul "The Other Side Of Bali: Jejak Sejarah di Pakerisan" yang diterbitkan pada perempat pertama 2013.

Awalnya Nilam mengaku penasaran dan mencari tahu mengapa aksara dan bahasa Bali mirip dengan Jawa, demikian pula latar belakang budaya penduduk kedua pulau itu.

Ia juga penasaran karena Bali lebih dikenal oleh orang asing, ketimbang Indonesia sebagai "induk" dari Provinsi Bali.

Buku yang merupakan gabungan antara cerita dilengkapi fotografi itu memaparkan jejak sejarah masyarakat Bali yang dibaca dari peninggalan candi, pura dan prasasti yang tersebar dan tersembunyi di persawahan, bukit dan ceruk-ceruk.

Alih-alih buku sejarah yang rumit dan membosankan, Nilam menghadirkan narasi dan foto-foto dengan gaya ringan sesuai target pembaca yang seumuran dengannya, terbukti dengan cara penulis menyapa pembacanya dengan kata "Sob" (sobat).

Dalam prolog misalnya Nilam menulis demikian : Waktu nyampe di kawasan Candi Tebing Gunung Kawi aku lihat ada pengunjung yang sedang duduk bermeditasi. Aku ikut-ikutan duduk anteng meditasi sebelum jepret-jepretin kamera. Waktu meditasi aku ngebayangin Eyang Kebo Iwa senyum simpul dan bilang Hai cucu-cucuku,look seribu tahun lalu eyang udah pake teknologi touch stone you cuman pake touch screen so jangan pada sombong ya. Lalu Eyang Kebo Iwa juga bilang Hmmm cucuku, itu Hulk yang sering kalian tonton kan cuma rekayasa teknik film, kalau Eyang bener-bener eksis ho ho ho eh lagi enak-enak meditasi bahuku ditowel Bli Gede disuruh buruan motret mumpung matahari lagi cerah menyinari alam raya.

Suatu gaya cerita yang bisa membuat pembaca terikat melanjutkan membaca.

Tetapi buku berukuran 16 x 21 cm dengan isi 196 halaman itu tidak bisa dianggap enteng, malahan bisa menjadi referensi untuk mengenal perjalanan sejarah Bali khususnya di kawasan Pakerisan dan Tampaksiring dan penulisnya, menciptakan istilah sendiri dari Bali jadul ke Bali Gaul.

Nilam yang menggunakan riset pustaka dan banyak referensi --kebanyakan online-- menyajikan latar belakang Bali masa awal, sebelum Hindu masuk, kemudian ketika agama asal India itu sudah menjadi panutan hidup masyarakat pulau tersebut, berlanjut pada periode eksepdisi Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 sampai dengan 1846, masa penjajahan Belanda hingga masa modern.

Melalui buku tersebut pembaca mendapat latar belakang sejarah Bali meskipun kemudian isi buku lebih terfokus pada 13 pura dan kisah sejarahnya --tentu saja dilengkapi pemahaman; pendapat dan sudut pandang penulis -- sebagai gadis remaja. Gaya penulisan yang khas dari Nilam yang sudah menghasilkan lima buku.

Tiga belas pura tersebut adalah Pura Alas Jagasari, Pura Alas Paiguman, Tirta Empul, Mangening, Pegulingan, Pura Candi Tebing Gunung Kawi, Pura Pengukur-ukuran, Samuan Tiga, Yeh Pulu, Candi Tebing Tegal Linggah, Penataran Sasih, Bukit Dharma Durga Kutri dan Pura Kebo Edan.

Meskipun mengaku kurang percaya diri dengan karya foto alumnus kursus fotografi jurnalistik dari Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) ini memberanikan diri melengkapi semua kisah pura dan candi itu dengan karya fotonya sendiri yang dikurasi oleh Enong Ismail, kurator dan penulis yang bermukim di Bali.

Melihat hasil fotonya, terlihat kesungguhan penulis untuk mencari sudut pengambilan gambar yang terbaik, yang mungkin diperolehnya dengan memanjat tebing, menerobos teritisan air dan pepohonan sementara dalam pengakuannya, ia membayangkan bertualang ala Indiana Jones.

"Trus loncat dari satu batu ke batu yang lain. Untung aku dulu ikut olahraga wushu, ya lumayan terlatihlah teknik loncat-loncat gini. Tapi aku sempet jatuh juga, bukan waktu loncat, tapi waktu fokus ngambil angle yang bagus dari tempat yang sulit "(hal 129) ia mengakui.

Pendekatan jurnalistik kental tercermin dari tulisannya, yaitu Nilam bukan hanya memanfaatkan kajian pustaka, melainkan mendatangi langsung, mencatat, memotret bahkan mewawancara beberapa pemuka masyarakat setempat sebagai narasumber.

Pada keterangan foto di halaman 114 Nilam menulis "Apa ya maksud Pura ini dijaga tentara Jepang? Nggak nemu literaturnya  hi hi hi".

Tulisan itu membuktikan bahwa Nilam berusaha memberikan yang terbaik bagi pembaca, informasi yang masuk dari pemandu, penuturan narasumber atas isi prasasti selalu dicari kebenarannya, dan dengan jujur ia sampaikan di dalam buku jika tidak bisa menemukannya.

Melalui buku tersebut pembaca bisa mendapatkan informasi mengenai lokasi pura, cara menempuh perjalanan ke tempat tersebut, sejarahnya, penuturan masyarakat setempat hingga mitos-mitos yang hidup di masyarakat.

Belajar sejarah menurut Nilam -- dan ia buktikan melalui bukunya, harus bisa memberi cerita dan menyambung masa lalu pada masa kini, alih-alih sekedar menjajar tahun-tahun dan nama-nama yang banyak dan membingungkan.

Ketika menceritakan Pura Bukit Dhartma Durga Kutri, Nilam mengajak pembaca menyelami masa lalu dan mengingat juga konteks masa kini dalam gaya "anak gaul".

Simak tulisannya: Di dalam pura ini ada sebuah bukit keci; di atasnya terletak arca Durga Mahisapura Mardini Astabuja, yang merupakan perwujudan arca Ratu Gunaprya Dharmapadmi, permaisuri Raja Udayana yang punya putra 3 yaitu: Raja Airlangga, Raja Marakata, dan Raja Anak Wungsu. Roh suci ibunda ketiga raja itu didharmakan di pedharman (persemayaman roh suci) di bukit ini, jadi pura ini diawali dengan nama Pura Bukit Dharma.

Nama Durga berasal dari kisah tentang Dewi Parwati, shaktinya Dewa Siwa. Alkisah dahulu kala ada raksasa/asura yang sangat sakti dan jahat yang bisa ngumpet di badan sapi. Zaman dulu, sapi sebutannya mahisa. Sapi yang dijadiin tempat ngumpet raksasa jahat itu dinamain Mahisasura (waduh, jangan-jangan pengusaha daging sapi impor yang "error" itu karena kemasukan roh jahat Mahisapura yak?)


Bagian itu mencerminkan bahwa sebagai anak muda, Nilam acuh pada masalah yang terjadi di negeri ini, ia menyisipkan sindiran sikap politikus masa kini dan kritik sosial di sana-sini dalam bukunya.

Buku ini oleh Nilam disiapkan dalam dua edisi, yaitu versi bahasa Indonesia dan versi bahasa Inggris yang sedang disiapkan penerbitannya.

Arah buku mencerminkan keinginan yang banyak dari penulisnya, buku "sejarah" ala anak gaul, profil lain Bali sebagai daerah tujuan wisata dan sebagai "curhat" Nilam mengenai kondisi artefak Bali yang memiliki nilai tinggi  yang seharusnya dikenal.

Nilam mengagumi jejak sejarah yang menurutnya dipikirkan benar oleh para leluhur yang repor-repot menulis-mengukir bebatuan, membuat prasasti dan candi yang awet ribuan tahun, agar bisa dipelajari, mengundang turis bahkan UNESCO.

Pujian bisa juga dilambungkan dengan pengetahuan berbahasa Nilam yang meskipun gado-gado dengan bahasa formal, bahasa gaul, bahasa daerah dan Inggris, ia mempertegas perbedaan kelompok bahasa itu dengan memiringkan semua kata yang bukan bahasa resmi Indonesia.

Sayangnya, banyak foto menarik tidak dilengkapi dengan keterangan yang dapat memudahkan pembaca untuk lebih memahami kaitan narasi dengan gambar-gambar tersebut.

Namun, kekurangan kecil itu tidak akan berarti bila dibandingkan dengan sumbangan karya tulis yang bisa membujuk pembaca untuk menengok Bali lebih dalam, mengulik sekelumit sejarah bangsa.


(M007)

Oleh Maria D Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013