Nouakchott (ANTARA News) - Kelompok Al Qaida Afrika Utara AQIM hari Minggu mengkonfirmasi kematian dua komandan seniornya tahun ini di Mali -- gerilyawan kawakan Abdelhamid Abou Zeid dan komandan brigade Abdallah Al Chinguetti, kata Kantor Berita Mauritania ANI.

Kematian Abou Zeid, yang menghasilkan jutaan dolar dengan menculik warga Barat selama satu dasawarsa terakhir, sudah diumumkan "secara pasti" oleh Paris pada Maret setelah bentrokan antara pasukan Prancis dan gerilyawan di Mali utara, lapor Reuters.

Namun, AQIM baru sekarang mengakui secara resmi kematian Abou Zeid, komandan salah satu brigade selatan dan pembantu terpercaya pemimpin kelompok itu yang sulit ditangkap, Abdelmalek Droukdel.

Pernyataan AQIM yang dikirim kepada ANI mengatakan, Abou Zeid tewas dalam pertempuran dengan pasukan yang dipimpin Prancis pada Februari di daerah pegunungan Adrar des Ifoghas di kawasan terpencil Mali timurlaut.

Kantor berita Mauritania itu sering menerima pernyataan dari kelompok-kelompok garis keras yang beroperasi di kawasan Sahara, yang banyak diantaranya memiliki anggota orang Mauritania. Pers di negara itu termasuk yang paling bebas di dunia Arab.

AQIM mengatakan bahwa Abdallah Al Chinguetti, seorang Mauritania dan pemimpin brigade Al Vourghan, tewas dalam operasi yang sama. Brigade itu aktif di Mali utara selama pendudukan kelompok garis keras tahun lalu.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang kini berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013