Kediri (ANTARA News) - Sumiatun (55) tak pernah menyangka rumahnya akan menjadi sumber penghasilan di masa tuanya. Ia bersama suaminya Misbakun adalah warga yang kecipratan rezeki dari menjamurnya kursus di Kampung Inggris Pare.

Pasangan suami istri pemilik rumah kos Baduri Zone di Dusun Singgahan, Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur itu tak perlu terlalu "susah" seperti saat menjadi petani. Apalagi ketiga anaknya sudah berkeluarga dan mandiri.

Kini dari sewa kamar bulanan, mereka memperoleh penghasilan tidak kurang dari Rp3 juta jika tidak sedang ramai. Pada saat libur sekolah, 12 kamar rumahnya akan terisi semua sehingga penghasilannya meningkat menjadi Rp5 juta.

Di daerah itu, tarif kos antara Rp100 ribu hingga Rp120 ribu per bulan. Dalam satu kamar bisa diisi maksimal empat anak. Dengan menggunakan air sumur dan mesin pompa, maka pengeluaran rutin tiap bulan adalah untuk rekening listrik yang tidak sampai Rp1 juta.

Penghasilan yang sangat besar untuk ukuran masyarakat desa yang di warung-warung masih menyediakan nasi dengan lauk telor goreng seharga Rp3 ribu. Selain itu godaan-godaan konsumtif juga belum banyak.

Baduri Zone bukan satu-satunya rumah kos di dusun itu. Di depannya atau samping kanan-kirinya, rumah-rumah disulap sedemikian rupa menjadi tempat kos. Mereka kecipratan rezeki dari dibukanya lembaga kursus "Happy English Course 1" (HEC 1) di sebelah barat Baduri Zone dan sejumlah lembaga kursus lainnya.

Direktur HEC 1 Wahyu Kurniawati mengakui bahwa munculnya lembaga kursus telah membawa dampak ekonomi yang luar biasa bagi warga di daerah itu yang umumnya sebagai petani.

Ia mendirikan HEC 1 pada 17 September 1997 dengan hanya memanfaatkan rumah. Seiring waktu, kini ia sudah memiliki ruang kelas sendiri berlantai dua di belakang rumahnya. Ia juga telah mempekerjakan lima guru. Setiap bulan HEC 1 bisa menerima 60 siswa saat musim sepi dan 400 orang saat musim liburan sekolah.

Dusun Singgahan adalah gambaran yang begitu jelas bagaimana sebenarnya ekonomi di daerah itu mulai tumbuh berkat banyaknya orang ingin belajar Bahasa Inggris.

Namun suasana kursus di dusun itu belum seramai seperti di Jalan Anyelir atau Jalan Brawijaya. Daerah itu masih menyisakan wajah asli rumah dan suasana desanya. Rumah-rumah yang asalnya hanya untuk ditinggali keluarga, disulap menjadi tempat kos. Misalnya ruang tamu yang memanjang, sebagian dibuat kamar dengan memasang kayu dan tripleks untuk dinding pembatas. Atau bagian depan rumah dibuatkan atap untuk warung nasi.

Kalau ke timur dari Baduri Zone atau kantor HEC-1, lalu di perempatan berbelok ke selatan, kondisinya sudah berbeda. Halaman rumah warga di pinggir jalan sudah berubah menjadi deretan warung nasi. Dari perempatan itu kalau terus berjalan sekitar 500 meter, akan ditemui perempatan lagi. Berbelo ke kiri (timur), di jalan ini perubahannya lebih total. Rumah-rumah menjadi tempat kursus dengan bagunan bagus, atau menjadi tempat kos dan warung serta usaha lainnya.

Di depan beberapa rumah teronggok tumpukan pasir dan batu bata. Itu salah satu tanda ekonomi Pare yang terus bergerak. Kalau tidak menambah kamar kos, pasir dan bata itu untuk menambah ruangan tempat belajar atau tempat usaha lainnya. Di tempat lain juga begitu. Bangunan-bangunan baru tumbuh atau bangunan lama diperluas.

Jika terus berjalan ke timur, sebelah kanan jalan akan dijumpai bangunan bertingkat yang pintu gerbangnya bertulis "Basic English Course" (BEC). BEC adalah cikal bakal berkembangnya kursus Bahasa Inggris di Pare. BEC didirikan oleh Muhammad Kalend Osen, legenda hiup Kampung Inggris. Lewati dulu kisah tentang BEC yang jalan di depannya begitu ramai dengan anak-anak muda berjalan kaki atau naik sepeda pancal.

Di sebelah kanan BEC, terdapat toko buku dan toko berbagai kebutuhan sehari-hari bernama "Asmo John". Wiyoto (40), pemilik toko yang lebih banyak dipanggil Pak Asmo itu juga memiliki usaha persewaan sepeda. Asmo yang pernah belajar di BEC, lebih mengembangkan minat bisnisnya dari pada meneruskan kemampuan bahasa asingnya.

Kalau terus ke timur di Jalan Anyelir tersebut, sekitar 500 meter dari BEC, sebelah kiri jalan akan ditemui salah satu kursus yang barangkali paling muda. "The Eagle", namanya. Semangatanya adalah "elang", yakni burung perkasa dengan kemampuan terbang yang tinggi.

Achmad Dany (22), pemilik lembaga kursus "The Eagle" di Jalan Anyelir, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, adalah anak muda yang mampu menangkap peluang usaha di bidang pencerdasan manusia itu. Ia adalah pendatang baru dari sekitar 150 lembaga kursus di Pare. Dany mengklaim sebagai pemilik lembaga kursus paling muda, baik usia maupun lembaganya.

Mahasiswa fakultas hukum sebuah universitas swasta di Surabaya itu mendirikan lembaga kursus pada November 2011 setelah sebelumnya malang melintang menjadi guru di sejumlah tempat kursus lain di Pare. Bukan perjuangan mudah bagi Dany mendirikan lembaga itu, meskipun dari kecil ia sudah terbiasa ditempa kemelaratan orang tuanya.

"Saya melihat animo masyarakat untuk datang ke Pare ini luar biasa. Saya berpikir kenapa saya tidak mendirikan lembaga sendiri? Akhirnya saya mendirikan The Eagle ini. Awal-awal berdiri saya hanya bermodal brosur dan menempati emperan rumah. Ternyata satu bulan hanya mendapat tiga siswa. Sedih juga waktu itu," kata pria kelahiran Porong, Sidoarjo, yang rumah orang tuanya hilang tertelan lumpur Lapindo itu.

Dany tak patah semangat, apalagi pekerjaan mengajar di lembaga kursus lain sudah ditinggalkannya. Penantian tak berlangsung lama, sebab satu bulan kemudian lembaganya kedatangan rombongan 30 siswa MTs dari Mojokerto. Tantangan hidup yang dijalaninya waktu di Porong mengajarkan ia untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mesikupun tidak memiliki tempat untuk menampung 30 orang, ia segera memutar otak untuk menyewa rumah.

Uang Rp9 juta sudah di tangan dari tarif kos plus biaya kursus per anak Rp300 ribu. "Almadulillah, sekarang sudah berjalan, meskipun saya sendiri merangkap sebagai manajer, tenaga marketing dan juga tenaga pengajar. Orang sering melihat saya sudah seperti sekarang ini, mereka tidak tahu perjuangan hidup saya dulunya," kata lelaki yang sangat akrab dengan anak didiknya itu.

Anak pertama dari dua bersaudara itu mengaku sejak kecil sudah hidup susah di Porong. Maklum, orang tuanya waktu itu hanya penjual krupuk keliling. Dany sudah biasa mencari uang sejak kecil, dengan mencari burung atau membantu berjualan milik ayahnya.

Meskipun ada semacam "dendam" untuk keluar dari kemelaratan di masa lalu, dalam mengelola The Eagle, Dany tidak semata-mata mencari untung. Ia memahami betul bahwa dia adalah pendidik. Karenanya tidak heran jika ia justru sering tidur bareng dengan anak-anak kos atau muridnya. Hal itu untuk lebih mendalami karakter anak didiknya itu.

Lelaki berkulit putih yang tinggal di Pare karena mengikuti ibunya yang pulang kampung setelah rumahnya di Porong ditelan lumpur itu memiliki cita-cita besar dari lembaga kursusnya. Dia ingin mencetak guru Bahasa Inggris yang memiliki jiwa sosial untuk mengajar di daerah terpencil di luar Jawa. Kalau bisa guru itu mengajar tanpa memungut biaya bagi anak didiknya.

"Nah, untuk itu saya harus kuat secara ekonomi sehingga bisa memikirkan kesejahteraan guru yang saya kirim nanti. Karenanya saya tidak akan berhenti di lembaga kursus ini. Saya akan merambah ke usaha lain, salah satunya persewaan mobil," kata bujang murah senyum ini yang saat itu ditemani anak-anak kosnya.

Mengakhiri ceritanya, Dany juga mengakui bahwa potensi ekonomi dari bisnis kursusan ini sangat besar. Bahkan dia menyebut triliunan uang masuk ke dua desa di Pare, Kabupaten Kediri, tersebut. Karena itu, ia menganggap wajar jika kemudian lembaga kursus di lokasi itu menjamur. Bahkan kini pemiliknya banyak yang bukan orang Pare.


(T.M026/Z003)

Oleh Masuki M Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013