Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan kelompoknya ialah dengan menyelenggarakan pemilihan dini presiden sehingga Ikhwanul Muslimin masih dapat menjadi bagian dari politik
Kairo (ANTARA News) - Posisi Presiden Mesir Mohamed Moursi makin tak stabil, saat Barat meningkatkan tekanan terhadap Presiden yang beroritentasi Islam itu agar mendengarkan tuntutan pemrotes, kata ahli politik setempat.

Moursi sekarang menghadapi gelombang protes di seluruh negeri itu yang meminta dia mundur dan menyelenggarakan pemilihan dini presiden.

Kendati berjumlah jutaan, pendukung Moursi, kebanyakan dari kubu Islam, kalah banyak dibandingkan dengan penentangnya --yang membanjiri bundaran umum dan jalan utama di negeri tersebut serta berikrar takkan pulang sebelum Moursi terguling.

Pada Senin, Angkatan Darat Mesir memberi semua pihak yang bertikai tenggat 48 jam untuk menyelesaikan konflik politik yang berlangsung, atau militer akan memberlakukan peta jalan bagi masa depan negara yang dilanda kerusuhan itu.

Presiden AS Barack Obama mengadakan percakapan telepon dengan Moursi pada Selasa pagi (2/7) untuk menyampaikan keprihatinannya mengenai perkembangan belum lama ini di Mesir, kata Gedung Putih.

"Amerika Serikat terikat komitmen pada proses demokratis di Mesir dan tidak mendukung satu kelompok atau pihak pun," kata Obama kepada Moursi sebagaimana dikutip Xinhua.

"Ia (Obama) menekankan demokrasi lebih dari sekedar pemilihan umum." Presiden AS tersebut mendorong Moursi agar melakukan tindakan "responsif" terhadap banyak pemrotes anti-presiden di seluruh Mesir dan menggarisbawahi "keprihatinan yang mendalam" mengenai kemungkinan terjadinya kerusuhan selama demonstrasi.

Masih pada Selasa, Juru Bicara Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Rupert Colville mengatakan, "Kami menyeru Presiden Mesir agar mendengarkan tuntutan dan keinginan rakyat Mesir."

Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius juga mendesak Moursi agar "mendengarkan" tuntutan pemrotes.

Sobhi Essaila, ahli politik di Pusat Kajian Politik dan Strategi Al-Ahram, memberitahu Xinhua, "Kelihatannya Amerika Serikat telah membuat keputusan untuk mengakhiri Moursi dan Ikhwanul Muslimin."

Esaila mengatakan Moursi bukan hanya menghadapi "tekanan Barat", tapi ia juga dijepit oleh "ketidak-puasan orangnya sendiri di dalam negeri, yang ditunjukkan dengan pengunduran diri beberapa pejabat dan menteri penting".

Ia juga menyampaikan kepercayaannya bahwa Pemerintah Moursi "sudah membusuk", dan mengatakan sekalipun Moursi menawarkan untuk menyelenggarakan referendum mengenai jabatannya, "itu sudah sangat terlambat".

"Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan kelompoknya ialah dengan menyelenggarakan pemilihan dini presiden sehingga Ikhwanul Muslimin masih dapat menjadi bagian dari politik," kata ahli tersebut.

Keprihatinan Barat bertambah setelah bentrokan antara pendukung dan penentang Moursi menewaskan tak kurang dari 24 orang dan melukai lebih dari 1.200 orang lagi selama satu pekan belakangan.

Bentrokan berlanjut pada Selasa, menewaskan tujuh orang dan melukai lebih dari 200 orang sementara tenggat yang diberikan militer terus mendekat.


Penerjemah: Chaidar Abdullah

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2013