Tidak tepat jika dikatakan ada konversi hutan pada pembangunan HTI di areal konsesi APRIL."
Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang dilakukan kelompok Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) tidak dapat dikategorikan sebagai konversi hutan, demikian keterangan Kementerian Kehutanan.

Oleh karena, pengembangan HTI tetap mempertahankan hutan sebagai hutan, bahkan ditingkatkan produktivitasnya, kata Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan di Kementerian Kehutanan, Bambang Hendroyono, di Jakarta, Minggu.

"Tidak tepat jika dikatakan ada konversi hutan pada pembangunan HTI di areal konsesi APRIL," ujarnya.

Bambang menjelaskan, HTI APRIL dikembangkan dengan sistem silvikultur yang secara ilmiah mendukung pengelolaan hutan lestari.

Sistem silvikultur yang dikembangkan melalui tebang habis permudaaan buatan (THPB), menurut dia, juga sesuai dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan hutan.

"Pengembangan HTI itu berbasis ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas hutan sekaligus mendukung kelestariannya," katanya.

Dalam pengembang HTI, kata Bambang, perusahaan wajib melakukan deliniasi makro-mikro sesuai ketentuan kehutanan. Hal itu untuk memastikan HTI hanya dibangun pada kawasan hutan yang kurang produktif.

Sementara itu, mengemukakan, kawasan hutan yang masih produktif dan kawasan perlindungan bernilai konservasi tinggi harus tetap dipertahankan.

Dia menegaskan, HTI dibangun hanya di kawasan hutan yang berfungsi produksi yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan bisa dioptimalkan pemanfaatannya.

Pengembangan HTI juga tetap harus sesuai tata ruang fungsi arealnya sehingga tetap bisa mempertahankan wilayah perlindungan keanekeragaman hayati dan budaya, katanya.

Bambang menekankan, sektor kehutanan Indonesia butuh pengembangan HTI karena produktivitas hutan alam saat ini terus merosot.

Selain itu, menurut dia, pengembangan HTI juga berkorelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki hutan yang terdegradasi.

"Jadi HTI ini pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment, kata Bambang.

Ia mencontohkan, pada tahun 2012 investasi HTI tercatat 238 unit dengan nilai investasi Rp 2,3 triliun. Pengembangan HTI juga menyerap tenaga kerja langsung 28.906 orang, naik dari pada tahun 2011 sebelumnya yang sebanyak 23.042 orang.

"Pengembangan HTI kini juga diarahkan untuk membangun kemitraan sehingga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Menurut dia, pengembangan HTI di kawasan hutan lebih baik ketimbang kawasan tersebut dibiarkan terbuka bebas tanpa pengelola. Kawasan tanpa pengelola berpotensi menimbulkan perambahan yang berdampak kepada pembalakan liar dan deforestasi.

Melihat sisi positif pengembangan HTI, Bambang menyayangkan masih adanya kampanye hitam soal HTI.

Dari sisi legalitas, ia menegaskan, pengelolaan HTI juga bisa dipertanggung jawabkan. Mereka diaudit dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang wajib di Indonesia oleh pihak ketiga yang independen.

"SVLK ini dari hulu hingga hilir dan telah diakui oleh dunia. SVLK ini juga menjadi bagian dari perjanjian kemitraan sukarela untuk perbaikan tata kelola hutan antara Indonesia-Uni Eropa," katanya.

Untuk menekan laju deforestasi, Bambang menjelaskan, pemerintah sudah menetapkan kebijakan moratorium konversi hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan tersebut terbukti berdampak positif dengan menurunnya laju deforestasi di Indonesia.

Sementara itu, Ketua bidang HTI, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna mengingatkan, aturan Forest Stewardship Council (FSC) yang mensyaratkan HTI yang dibangun di hutan alam setelah November 1994 tidak memenuhi kriteria untuk mendapatkan sertifikasi sangat sulit diterapkan karena hampir semua HTI di Indonesia dibangun setelah tahun 1994.

"Aturan FSC itu hanya bisa dilakukan di negara-negara seperti Amerika dan negara-negara maju lainnya yang memang telah mengubah hutan alamnya menjadi HTI sejak ratusan tahun lalu," kata Nana.

Ia menambahkan, aturan itu sangat membatasi kiprah industri HTI nasional untuk bersaing di pasar global. (*)

Pewarta: Arief Pujianto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013