Bagi Gandjar Laksmana Bonaparta, ahli hukum pidana dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sistem sebagus apapun tanpa hukum yang tegas diterapkan, akan tak berarti apa-apa.

Syarat ini juga berlaku pada bagian atau sistem apapun yang berusaha direformasi, termasuk reformasi birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.

Mengenai Ditjen Pajak, Gandjar melihat serangkaian terobosan positif telah dilakukan lembaga tersebut, namun terutama karena masih saja terjadi pelanggaran hukum atas beberapa karyawan direktorat ini, maka persoalan ada pada penindakan hukum atau ketegasan dalam menerapkan aturan hukum.

Dia melihat Ditjen Pajak sebenarnya tidak kurang suatu apa, termasuk tingkat kesejahteraan dan gaji tinggi yang seharusnya mengurangi praktik korupsi dan suap pada lembaga itu.  Faktanya masalah ini masih saja terjadi.

Gandjar bahkan melihat gaji tinggi ternyata tidak terlalu berkorelasi secara signifikan dengan pemberantasan korupsi. Seharusnya, sambung Gandjar, gaji pegawai pajak sudah cukup untuk memenuhi gaya hidup standar.

"Tetapi jika misalnya, hidupnya biasa menerima (suap) Rp100 juta per bulan, maka ketika mendapat kurang dari itu, ya mungkin akan dianggap kurang oleh mereka," kata Gandjar.

Kebiasaan buruk inilah yang membuat berapa pun gaji atau pendapatan normal yang diterima pegawai yang biasa menerima suap, tidak akan bisa mencukupi mereka.  Mereka ini enggan meninggalkan perilaku buruk suap menyuap tersebut.

"Jika mereka tidak mau menghilangkan kebiasaan suap seperti itu, artinya perilaku oknum pajak itu memang jahat," katanya seraya menegaskan perilaku seperti ini jelas bukan produk sistem, melainkan produk individual.

Untuk mengekang prlaku buruk para pegawai berperilaku jahat seperti itu, maka Ditjen Pajak harus meningkatkan sistem pengawasan. Oleh karena itu, kewenangan yang melekat pada titik tertentu sangat tidak bisa diterima. Kewenangan tersebut harus dibagi.

"Misalnya siapa yang memeriksa (pajak), siapa yang menyimpulkan, siapa yang memutuskan, dan siapa yang mengadministrasikan," kata Gandjar.

Dia khawatir jika kewenangan itu diletakkan kepada satu orang atau satu tim, maka bisa menciptakan kolusi.

Untungnya saat ini Ditjen Pajak telah melaksanakan pemecahan kewenangan itu sesuai dengan struktur organisasi yang berbasis fungsional. Sebagai contoh, pemeriksaan pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), namun permohonan keberatan atas sengketa pajak diputus oleh Kantor Wilayah (Kanwil), sedangkan tugas untuk beracara di Pengadilan Pajak ditangani oleh Direktorat Keberatan dan Banding di Kantor Pusat. Hal ini sudah sesuai dengan makna reformasi birokrasi itu sendiri. 

Gandjar juga mengapresiasi sistem whistleblowing pada Ditjen Pajak sebagai sistem peringatan dini bagi efektivitasnya sistem pengawasan dan reformasi birokrasi yang dijalankan Ditjen Pajak.

Dia menyayangkan pemahaman yang justru berkembang mengenai whistleblowing ini adalah bagi mereka yang melapor saja, tapi yang melaporkan ini bukan pelaku.

Jika sang whistleblower ini bukan pelaku, maka ada kekhawatiran kebenaran atau validitas data-data apa yang dia laporkan sedangkan dia bukan pelaku dari tindakan kejahatan korupsi itu. Oleh karena itu harus ada pendalaman terhadap materi pelaporan whistleblowing.

Untuk itulah, Ditjen Pajak memerlukan sistem pengawasan yang lebih diperketat lagi agar mekanisme pencegahan korupsi di dalam institusi itu berjalan efektif dan optimal.

Secara sistemik, Ditjen Pajak sebenarnya nyaris tidak memiliki kekurangan sedikit pun. "Cuma, kita menghadapi perilaku jahat yang tidak ada tandingannya dan tingkat oknum yang serakah. Ini yang perlu ditangani agar citra institusi tidak terpuruk." kata Gandjar lagi.

Jika yang demikian yang justru menggejala kuat dalam tubuh Ditjen Pajak, maka sistem penerapan hukum harus dipertegas.

Penerapan hukum yang diperketat ini juga demi mensinkronkan bahwa sistem memang telah diperbaiki, selain untuk lebih membuktikan bahwa meningkatnya kesejahteraan pegawai berkorelasi dengan meningkatnya integritas pegawai.

"Kalau masih juga nakal, ya penerapan hukum harus dipertegas," ujarnya.

"Kalau pelanggaran ringan, sanksinya ringan. Kalau pelanggaran berat, sanksinya berat," jelasnya.

Namun Gandjar menilai seringkali tuntutan jaksa untuk kasus suap pajak masih terlalu rendah, demikian pula vonis hakim yang juga dianggapnya terlalu rendah.

Dia berharap putusan terhadap pelaku korupsi lebih berat dari yang selama ini diputuskan.

Gandjar menganggap upaya mencegah atau memberantas oknum pelanggar hukum di Ditjen Pajak mesti dilakukan secara integral. "Prinsipnya, tidak ada satu obat manjur. Jadi harus dilakukan dari A sampai Z," kata dia.

Pendekatan integratif itu mulai dari rekrutmen pegawai, pengawasan, pelaksanaan tugas, sampai proses hukum.  Tentu Ditjen Pajak tidak dapat bekerja sendirian karena memang ada porsi-porsi tertentu yang diluar jangkauan Ditjen Pajak.

Dalam kerangka ini, Gandjar melihat kerja sama yang sudah dibangun Ditjen Pajak bersama KPK berada di rel ini.

Dia menilai kerjasama tersebut sudah bagus dan harus tetap dilakukan, dengan lebih bagus jika setiap lembaga, bukan hanya Direktorat Jenderal Pajak, mampu melakukan tindakan pencegahan. Misalnya, daripada melaporkan ke pihak berwenang seperti KPK, lebih baik instansi tersebut mendeteksi potensi-potensi kecurangan pembayaran pajak.

"Misal ada proses pemeriksaan pajak yang terlalu lama dan bertele-tele. Itu kan potensi perilaku koruptif. Diperingatkan saja langsung," kata mantan anggota Satuan Tugas Normalisasi untuk mengawal Kongres PSSI.

Jika peringatan langsung telah diberikan namun mereka yang berlaku curang masih saja ingin berbuat curang atau nakal, baru laporkan ke KPK untuk dipidana berat.

"Satu atau dua kasus, harus benar-benar dilaksanakan agar ada efek jera bagi pegawai yang lain," pungkas Gandjar.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013