Gorontalo (ANTARA News) - Pagi itu (19/7), usai shalat subuh dari kejauhan beberapa orang sedang melangkahkan kakinya meninggalkan masjid. Perempuan masih enggan mencopot mukena putihnya, sedangkan laki-laki masih setia dengan sarung dan peci. Mungkin rasa dingin masih menusuk karena matahari belum tampak.

Di jalur jalan kedua, hadir pemandangan yang agak berbeda. Kali ini disertai dengan konvoi beberapa motor yang dikendarai anak muda.

Sementara di bagian jalan yang lain sepasang suami istri mendorong kereta, tempat seorang bayi sedang terjaga. Mereka datang dari empat arah berbeda menuju titik yang sama, yakni simpang empat Jalan Barito.

Di salah satu pojok persimpangan itu, seorang lelaki mengenakan baju koko putih dan celana panjang kotak-kotak berwarna coklat telah menunggu kedatangan warga.

Ia sibuk memasang pengeras suara sesekali mengecek suara yang dihasilkan. Dua menit kemudian, ia siap tampil untuk menghibur warga yang sudah duduk teratur menempati setiap sisi jalan. Rupanya mereka masih menunggu kedatangan seorang ustad untuk mendengarkan tausiah (ceramah agama).

Jalan Barito memang istimewa. Letaknya persis berada di perbatasan antara Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

Pada tahun 1982, lokasi ini menjadi tempat berkumpul warga setelah menunaikan shalat subuh, namun dengan tujuan yang berbeda.

"Saat itu orang berkumpul hanya untuk `nongkrong` saja. Sekadar menghabiskan pagi, untuk kembali ke rumah saat matahari mulai terbit," ujar pria bernama Yusin Danial (43) itu.

Beberapa tahun kemudian, kisah perih sempat menghantui warga setempat. Barito menjadi tempat tawuran. Tua muda dari kelompok berbeda datang ke tempat itu untuk saling membalaskan dendam. Tak ada lagi ketenangan, apalagi canda tawa saat saling bertemu.

Alih-alih melerai, warga setempat justru jadi korban. Warga akhirnya memilih menutup rumah rapat-rapat daripada terkena imbas perkelahian.

Berangkat dari rasa kekhawatiran itu warga kemudian sibuk mencari akal, demi memulihkan kembali ketenangan di lokasi itu. Muncullah ide dari sejumlah remaja Masjid At Taubah untuk "menyulap" Barito menjadi tempat berdakwah setiap bulan Ramadhan.

Pada 1998 cita-cita itu terlaksana.

"Saat itu kami kaget karena ternyata sambutan dari warga di desa ini dan desa lainnya luar biasa. Mereka antusias mengikuti ceramah, sehingga kami terdorong untuk melakukannya setiap pagi di bulan Ramadhan," kata Yusdin yang lebih akrab dipanggil "Pa Ade" itu.

Dengan konsep "dakwah jalanan", kegiatan itu terus berlanjut hingga bulan puasa tahun 2013 ini.

Seluruh biaya ditanggung oleh warga setempat, namun tak jarang juga banyak penyumbang dari desa lain.

Uang yang terkumpul digunakan untuk sedekah sang penceramah. Panitia menyusun jadwal khusus setiap hari, siapa penceramah, siapa bintang tamu dan siapa yang mengeluarkan biaya untuk itu.

Ustad yang disukai biasanya adalah yang sedikit melawak. Sedangkan bintang tamu datang dari berbagai kalangan seperti tokoh masyarakat, lurah, bupati hingga wali kota.

"Pa Ade" sendiri sudah belasan tahun mengabdi untuk Barito, menjadi pembawa acara sekaligus pengatur lalu lintas. Sambil menimpali apa yang disampaikan ustad, ia juga sesekali mengatur kendaraan yang lewat.

Kini Barito telah berubah wajah. Lebih ramah dan dewasa. Saat seorang ustad menyampaikan tausiahnya, semua warga mengikutinya dengan sungguh-sungguh.

Lalu lalang kendaraan seringkali tak memecah perhatian mereka. Kecuali saat seorang pedagang kankung berhenti mengayuh sepedanya di persimpangan, ia langsung "diserbu" ibu-ibu.

(D015/A035)

Pewarta: Debby Hariyanti Mano
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013