Jakarta (ANTARA News) - "Sekarang musim kawin, jadi kecil kemungkinan kita melihat komodo di jalur tracking," kata ranger atau polisi hutan berseragam hijau.

Pada musim kawin komodo (varanus komodoensis) mencari tempat tersembunyi untuk melepaskan syahwat dan berkembang biak.

Hanya nasib baik saja yang memungkinkan pengunjung melihat komodo di musim kawin, yakni Juli dan Agustus.

Di samping di Pulau Komodo, binatang ini juga hidup di Pulau Rinca, Flores, Gili Motang dan Gili Dasami di Nusa Tenggara (Sunda Kecil).

Pulau Komodo, Rinca, Padar dan sekitarnya yang berluas 1.817 kilometer persegi,  603 kilometer persegi di antaranya daratan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo pada tahun 1980.

Populasi komodo di Rinca yang seluas 19 kilometer persegi sekitar 2.300 ekor, lebih banyak dari pada di Pulau Komodo, yang sekitar 2.100 ekor.

Binatang yang panjangnya bisa mencapai tiga meter (jantan) itu bisa hidup hingga usia 50 tahun.

Komodo bertelur setelah sebulan musim kawin (September), lalu telur akan menetas sekitar 6-7 bulan kemudian atau sekitar April tahun berikutnya.

Pada tiga tahun pertama anak komodo rentan dari pemangsa, bahkan dari komodo dewasa lainnya. Karena itu mereka hidup di atas pohon dengan memakan serangga.

Komodo yang hidup di Pulau Rinca "hidup berdampingan" dengan manusia di desa nelayan yang berpenduduk sekitar 800 jiwa.

Sang naga (dragon komodo, julukan keren untuknya) bisa memangsa manusia. Ranger yang asli penduduk Rinca mengisahkan pernah pada suatu saat, menjelang shalat Jumat, seorang ayah meminta anaknya usia delapan tahun untuk segera naik ke atas rumah panggung.

Sang anak yang sedang bermain mengatakan akan segera naik. Setelah shalat Jumat si ayah menyaksikan  tetangga sedang menarik badan anaknya yang sebagian sudah di mulut komodo. Nasib malang, sang anak tidak terselamatkan.

Wally Siagian, penulis buku "diving bali, The Underwater Jewel of Southeast Asia", terbitan Periplus Edition (HK) Ltd. (2010).mengatakan ada hubungan unik antara penduduk lokal dengan komodo.

"Mereka tidak mempertanyakannya, apa lagi mengusik dan membunuh komodo," kata Wally yang di kartu namanya mencantumkan  "gelar" DDTB (diving, drinking and talking busshit) Master. Master menyelam, "minum" dan omong kosong.

Penduduk lokal menjadikan komodo sebagai bagian dari mereka,  mereka tidak memburu atau memusnahkan sang naga.

Beruntung di sekitar kantor Taman Nasional di pulau itu empat ekor komodo, tiga berukuran sekitar dua meter dan satu anakan usia tiga tahun terlihat berjemur dibawat nauangan atap rumah.

Mereka terlihat jinak, sementara di kecil terlihat atraktif dan berjalan mengamati pengunjung. Bau amis yang tercium di bawah rumah panggung itu agaknya menjadi daya tarik keempatnya.

Thamrin, seorang pemandu wisata, mengemukakan sejumlah turis asing kadang sulit diberi pengertian bahwa pada kondisi tertentu komodo liar hidup sesuai dengan siklusnya.

Thamrin tidak setuju jika dilakukan rekayasa di taman nasional agar komodo diatur agar bisa terlihat oleh turis kapan saja.

Jika kondisi itu dilakukan, maka mereka sama saja melihat komodo di kebun binatang di negara asal mereka. Di taman nasional, komodo hidup liar, kata Thamrin.

Di sisi lain, pemerintah ingin komodo semakin mendunia. Rencana tersebut anta lain dilakukan dengan menggelar Sail Komodo pada 14 September 2013. Sekitar 80 kapal layar akan menyusuri pulau-pulau dan obyek wisata di Nusa Tenggara Tikur.

80 kapal itu pada 3 September akan berlabuh di sekitar Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat.

Pemerintah sekaligus ingin menjadikan Sail Komodo sebagai tonggak pembangunan Labuan Bajo, Manggarai Barat dan NTT.

Kepala Humas Sail Komodo yang juga Dirjen IKP Kemenkominfo Freddy Tulung mengatakan seiring komodo yang semakin mendunia, pemerintah berharap turis berdatangan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Oleh Erafzon SAS
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013