Jakarta (ANTARA News) - Hans Begeau Jassin masih berusia 13 tahun ketika memulai mendokumentasikan karya-karya sastra bangsa Indonesia. Dia tidak pernah berharap suatu saat kelak dianugerahi Bintang Mahaputera karena kegiatan tersebut. Saat itu, pria kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917, itu masih duduk di bangku HBS (SMP) Medan karena mengikuti ayahnya yang pindah ke Pangkalanbrandan, Sumatera Utara. Sifat rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra itu lahir karena kesukaannya membaca buku. Meski pada perkembangannya tidak hanya buku yang dikoleksi, tetapi juga kop surat, surat-surat, hingga naskah jadi yang belum terbit menjadi buku. "Bahkan beliau selalu mengumpulkan karcis teater yang pernah ditonton dari waktu ke waktu," kata salah satu mantan mahasiswanya di Universitas Indonesia (UI) yang kini menjabat Kepala Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Endo Senggono. Jassin dibesarkan dari keluarga yang "kutu buku". Anak kedua dari enam bersaudara itu berayah seorang bekas kerani (juru uang,red) BPM yang gemar membaca buku. Dia mulai mengenal indahnya membaca tidak lama setelah menamatkan sekolah di bangku HIS (SD). Jassin beruntung sebab dididik di sekolah yang mengajarkan teknik mengarang dan memahami puisi dengan sangat baik. Sejak mengenal bangku HBS (SMP), dia mulai belajar menulis kritik sastra dan dimuat di beberapa majalah lokal. Usai menamatkan HBS, Jassin bekerja di kantor Asisten Residen Gorontalo. Meski tanpa gaji, di sana ia mendapat kesempatan mempelajari dokumentasi secara baik. Kedisiplinan Jassin dalam berbagai hal membuatnya menjadi sosok yang sangat menghargai waktu. "Beliau selalu mengingatkan saya untuk jangan menyia-nyiakan waktu karena merupakan aset yang paling berharga di dunia ini," kata keponakan terdekatnya, Ritawati Jassin. Rita mengatakan, sepanjang hidupnya, sosok Jassin adalah pembelajar yang tidak pernah menyisakan waktu sedetik pun untuk berdiam diri. Meski Endo, mantan mahasiswanya di UI mengaku sosok Jassin bukanlah seorang yang pandai berdebat atau ahli berbicara di depan umum, tetapi Jassin adalah pekerja keras yang mengatur sendiri garis pekerjaannya. "Beliau lebih memilih bekerja sendiri, berpikir, dan menulis daripada berbicara panjang lebar," katanya. Menurut Rita, Jassin tidak pernah menuntut orang lain untuk melakukan sesuatu, tetapi selalu mengawalinya dengan memberi contoh. Sifat itulah yang akhirnya membawa pria yang menguasai empat bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, dan Arab itu untuk menjadi pemimpin sekaligus kritikus sastra terkemuka. Pada usia 23 tahun, Jassin menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana yang saat itu (1940) menjabat redaktur Balai Poestaka. Selain bekerja di Badan Penerbitan Belanda itu, Jassin aktif menulis cerpen dan sajak. Kariernya menjadi kritikus dan dokumentator sastra berawal dari pekenalannya dengan Armijn Pane. Armijn mengajarinya membuat timbangan buku dengan lebih baik. Berkat ketekunan Jassin, ia dinobatkan menjadi redaktur berbagai majalah sastra dan budaya, seperti Pandji Poestaka dan Pantja Radja, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah Sastra, Bahasa dan Budaya, Buku Kita, medan Ilmu Pengetahuan dan Horisan (setelah Indonesia merdeka). Kecintaannya pada buku melahirkan Jassin sebagai dosen yang selalu mengajarkan mahasiswanya di Sastra Indonesia, UI, untuk gemar buku. "Beliau adalah dosen yang selalu datang dengan membawa banyak buku ketika mengajar," kata Endo. Dalam sejarah pendidikannya, Jassin meraih gelar kesarjanaan di bidang sastra pada 1957. Dia sempat mendalami ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat. Delapan belas tahun kemudian, Jassin dianugerahi doktor honoris causa dari Universitas Indonesia. Mantan Lektor Sastra Indonesia Modern Fakultas Sastra UI itu tidak bisa bersepeda. Kemana pun pergi, ia lebih sering jalan kaki atau naik bus, becak, dan kendaraan umum lainnya. "Saya sering menemaninya kemana pun Papi pergi. Kadang putrinya yang menyetir mobil dan saya menjadi kernet duduk di sampingnya," kata Rita. Kritik sastra "Wali Penjaga Sastra Indonesia" itu bersifat edukatif dan apresiatif. Meski kadang tidak mementingkan teori ilmiah sastra, hasil kritikan mementingkan kepekaan dan perasaan. HB Jassin tetap berpegang kepada gaya dan selera kritik yang dikembangkan sejak tahun 1950-an, sebagaimana tampak dalam bukunya yang empat jilid itu, yakni "Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Essey" (1967). Atau dalam buku "Analisa Cerpen" (1965) dan "Tifa Penyair dan Daerahnya" (1967). Dokumentasi kehidupan bangsa Hampir sepanjang usia produktifnya, Jassin mengabdikan diri untuk mendokumentasikan berbagai hal yang berbau sastra. Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli dan 10 terjemahan. Data-data tertulis tentang sastra Indonesia yang dikumpulkan Jassin sejak 1930-an bisa dibilang sebagai dokumentasi kehidupan bangsa Indonesia. "Seandainya tidak ada HB Jassin yang begitu giat mendokumentasikan karya sastra, niscaya ingatan bangsa Indonesia semakin pendek," kata Endo. Dia mengatakan sejak dahulu banyak sastrawan yang datang ke Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin meminta tolong Jassin menyimpan hasil karyanya. "Para sastrawan itu justru lebih percaya Pak Jassin yang menyimpannya daripada diri mereka sendiri," kata Endo. Kini, jejak sepak terjang pria berjuluk "Paus Sastra Indonesia" itu tersimpan di PDS HB Jassin yang terletak di Lantai 2 Gedung Galeri Cipta II di Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat. Tercatat sekitar 50 ribu dokumen berbentuk buku, kliping, skripsi, disertasi, majalah, makalah, foto pengarang, lukisan, puisi konkret, rekaman suara, kaset video, mikrofilm, naskah tulisan tangan, naskah ketik, dan surat-surat pribadi, tersimpan di dalamnya. Jumlah buku dan naskah sastra yang sangat banyak itu merupakan hasil kerja Jassin sejak zaman Jepang hingga awal kemerdekaan. Seiring waktu jumlah koleksinya bertambah banyak sehingga akhirnya Pemda DKI setuju turut mengelola dokumentasi tersebut. Pada 28 Juni 1976 didirikanlah Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, oleh HB Jassin, Gubernur DKI, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan Ajip Rosidi. Kemudian Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin meresmikan Pusat Dokumentasi HB Jassin pada 30 Mei 1977. Kalangan sastra, seperti pengarang Budi Dharma seperti yang diungkapkan dalam "Ensiklopedia Tokoh Indonesia" menilai peran Jassin sangat penting mengingat masyarakat Indonesia kerap abai terhadap dokumentasi dan kesadaran sejarahnya sangar rendah. Akibatnya banyak orang yang cenredung mengulang-ulang. Dia juga mengatakan Jassin adalah kritikus sastra formal yang pertama. Kini, memang Jassin telah lama tiada. Dia meninggal pada 11 Maret 2000 di usia 83 tahun. "Saya ingat, saat itu Sabtu dini hari. Papi pergi, tenang seperti orang yang tertidur. Dan kami semua ikhlas atas kepergiannya," kata Rita. Stroke yang telah diderita Jassin selama bertahun-tahun membuatnya harus dirawat beberapa minggu di Paviliun Stroke Supardjo Rustam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sebelum akhirnya meninggal. Meski telah tiada tapi Jassin telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi orang-orang di sekitarnya. Salah satu staf Pengelolaan dan Pengadaan PDS, Agung Trianggono mengatakan, selama bekerja dengan Jassin di PDS, Agung mengenal sosok sastra itu sebagai figur teladan yang selalu bekerja keras. "Beliau baik sekali, rajin, tekun bekerja, dan tidak segan untuk selalu menyapa bawahannya," kata Agung yang telah bekerja di PDS selama 15 tahun. Tidak terkecuali bagi staf sirkulasi PDS, Isnain. Baginya, Jassin adalah gambaran seorang seniman yang sebenarnya. Jassin selalu menghargai hasil seni karya orang lain, menyimpannya dengan baik, dan merawatnya dengan teliti. Dan bagi Ritawati, sang kemenakan, kenangan bersama HB Jassin menjadi pelajaran yang paling berharga. Rita mulai terbiasa tanpa kehadiran Papi Jassin setelah sembilan tahun kepergiannya, kini. Namun bila suatu waktu, ia ke sebuah tempat yang pernah dikunjunginya bersama paman terkasih, rasa sedih itu kerap muncul. Ingatan Rita selalu kembali pada beberapa tahun silam, saat kebersamaannya dengan Papi Jassin belum lagi berakhir. Ketika Papi Jassin mengingatkannya untuk selalu tersenyum pada setiap orang. "Adalah pelajaran paling berharga untuk saya, ketika rahasia senyum itu mengantarkan saya menjadi lebih diterima di sini meskipun tanpa kehadirannya lagi," kata Rita yang kini bekerja sebagai salah satu staf di PDS HB Jassin. Seandainya HB Jassin masih ada, tahun ini genap sudah usianya 89 tahun. Selamat Ulang Tahun, Wali Penjaga Sastra Indonesia... (*)

Copyright © ANTARA 2006