Tim tersebut telah mengabaikan makna dan nilai kemanusiaan dari penduduk di sekitar laut yang tercemari."
Kupang (ANTARA News) - Petaka tumpahan minyak di Laut Timor pada Agustus 2009 selama ini diklaim secara salah oleh perusahaan pencemar PTTEP Australasia hanya untuk menuduh ketidakseriusan pihak Jakarta-Canberra dalam mengatasi masalah tersebut, kata Ketua Dewan Riset Daerah NTT, Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD.

"Meledaknya kilang minyak Montara tidak hanya memuntahkan minyak mentah, tetapi juga zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9500 dan 9572 yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem laut," kata rohaniawan Katolik itu kepada pers di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu.

Antropolog dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu mengemukakan pandangannya untuk mengenang tragedi pencemaran Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.

"Sudah empat tahun tragedi pencemaran minyak terbesar di dunia ini berlalu, tetapi belum nampak ada tindakan nyata dari pemerintah Indonesia maupun Australia, serta perusahaan pencemar PTT Exploration and Production (PTTEP Australasia) untuk mengambil tindakan pemulihan," ujar Neonbasu.

Ia mengemukakan, "Yang kita butuhkan sekarang adalah upaya konkret untuk menelusuri berbagai ekses, terutama kesehatan masyarakat di pesisir NTT yang telah bergejolak secara liar dan memprihatinkan dewasa ini".

"Laut Timor yang tadinya bersahabat tiba-tiba menjadi ganas, bukan karena kesalahan alam yang menghindari manusia sebagai sahabatnya, melainkan karena ulah manusia ketika gagal mengendalikan sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor," ujarnya.

Antropolog itu menyatakan, petaka tumpahan minyak yang kemudian dikenal dengan sebutan "Montara Timor Sea Oil Spill Disaster", ternyata diklaim seakan-akan tidak ada yang berbahaya.

Padahal, ia menilai, hal itu hanya untuk memperlihatkan ketidakseriusan dan usaha sungguh-sungguh pihak Jakarta maupun Australia..

Nampaknya, kata Neonbasu, Pemerintah Australia dan PTTEP AA/PTTEP Australasia selaku operator dan pemilik ladang minyak dan gas Montara Sea Drill Norway Pty.Ltd mengambil sikap yang sama dengan Pemerintah Indonesia.

Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 109 Tahun 2006 yang kemudian membentuk Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor guna menyelesaikan petaka tersebut, dinilainya, gagal total dalam menjalankan misinya sebagai mediator.

"Tim tersebut telah mengabaikan makna dan nilai kemanusiaan dari penduduk di sekitar laut yang tercemari. Pihak yang berwajib, semisal pemerintah, tidak lihai memberi jaminan kesehatan kepada penduduknya, yang telah selama empat tahun tenggelam dalam amukan petaka," ujarnya.

Ia mengatakan jika dibandingkan dengan petaka tumpahan minyak di Laut Alaska, Amerika Serikat (AS) pada 1989 dan tumpahan minyak di Teluk Mexico pada 2010, Montara yang telah mencemari sedikitnya 90.000 km2 Laut Timor itu, justru lebih hebat dan sangat dahsyat.

"Petaka Alaska, kendati tidak sedahsyat Laut Timor, namun serta merta ditangani secara serius oleh Pemerintah Amerika Serikat yang hingga kini sudah selama 24 tahun, masih terus diperhatikan untuk upaya pemulihannya karena belum tuntas seratus persen," katanya.

Robert B. Spies, salah seorang ahli perminyakan dari AS dan utusan khusus Presiden Barrack Obama untuk meneliti kasus pencemaran minyak di Laut Timor, mengatakan bahwa hal yang menonjol dari petaka Alaska adalah respek yang tinggi dari pemerintah AS dalam upaya pemulihan.

"Pemerintah AS lebih mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan penduduk yang bermukim di kawasan yang terkena bencana untuk mendapat pelayanan jangka pendek, menengah dan panjang sebagai percikan dari akibat tercemarnya lautan pada kawasan yang kena musibah," katanya.

Dalam kasus pencemaran Laut Timor ini, ia menambahkan, tidak hanya warga masyarakat yang terkena dampak langsung akibat pencemaran laut itu, tetapi juga pemerintah Indonesia karena persoalannya sudah mengglobal, dan telah muncul tanggapan miring dan cemooh dari mana-mana.

Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013