Lebak (ANTARA News) - Usaha pembuatan tempe di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kurang diminati generasi penerus karena kurang menguntungkan seiring terus naiknya harga kedelai.

"Kalau dulu kampung Cibahbul Desa Rangkasbitung Timur sebagian besar warganya perajin tempe, namun kini yang masih bertahan dua orang saja," kata H Yahya (80), seorang perajin tempe warga Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Minggu.

Ia mengatakan bahwa dirinya menjadi perajin tempe sejak tahun 1950-an setelah dapat bantuan kedelai dari Pemerintah Soekarno.

Di mana pemerintah saat itu mengembangkan kerajinan ekonomi rakyat dengan melatih dan membina masyarakat untuk menggeluti bidang usaha.

Selanjutnya, pada era Presiden Soeharto juga mendapat pembinaan dan bantuan kedelai.

Ia dan puluhan warga Cibahbul, Desa Rangkasbitung Timur, bergerak pada usaha kerajinan tempe.

"Kami merasa bingung dengan kedelai impor karena harga terus bergerak naik," katanya.

Ia juga mengatakan, produksi tempe kampung Cibahbul memiliki kelebihan, selain rasanya alami juga beraroma karena menggunakan pembungkus daun pisang.

Perajin tempe hingga kini bertahan menggunakan daun pisang untuk menjaga keaslian juga rasanya enak, pulen, dan sehat dibandingkan pembungkus plastik.

"Kami setiap hari belum pernah tidak habis dan konsumen dari masyarakat ekonomi berpenghasilan rendah sampai pejabat daerah," kata H Yahya sambil berkeliling menjajagi dagangan dengan menggunakan sepeda ontel.

Menurut dia, pihaknya prihatin para generasi muda saat ini sudah tidak melirik usaha kerajinan tempe yang sangat membantu perekonomian rakyat.

Padahal, sebelumnya kampung Cibahbul merupakan sentra pengrajin tempe terbesar di Kabupaten Lebak.

Diperkirakan sekitar 40 perajin tempe memasok kebutuhan permintaan warga Rangkasbitung.

Namun, mereka perajin tempe sudah meninggal dunia, termasuk H Bani sebagai tokoh penggagas kerajinan tempe.

"Dari 40 perajin tempe itu hanya kami yang masih bertahan dan generasi penerusnya juga seorang bernama Adhari," katanya.

Ketika ditemua, Adhari mengakui kemungkinan generasi penerus kurang melirik usaha kerajinan tempe akibat harga kedelai terus bergerak naik.

Sebab kedelai yang ada di pasar itu dipasok dari luar negeri sehingga tidak memberikan keuntungan besar bagi perajin tempe.

"Kami merasa bingung dengan naiknya harga kedelai hingga Rp8.700/kg dari sebelumnya Rp8.000/kg. Kami perkirakan harga kedelai terus begerak naik," ujarnya.

Kenaikan bahan baku tempe, menurut dia, berdampak buruk para perajin tempe dan tahu karena produksi berkurang sekitar 50 persen.

Selain itu juga ancaman bangkrut akibat kenaikan kedelai di tingkat pengecer.

Apalagi, perajin tempe di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha, seperti koperasi maupun asosiasi yang bisa melindungi mereka.

Mereka para perajin tempe dan tahu mendapatkan kedelai langsung dari pengecer dengan harga relatif tinggi.

"Kami meminta pemerintah dapat memberikan subsidi dengan harga kisaran Rp4.500/kg," katanya.

Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Yuntani mengaku pemerintah terus mengembangkan budi daya kedelai di sejumlah kecamatan.

Namun, pengembangan budi daya kedelai belum mampu memasok kebutuhan para perajin tempe dan tahu.

"Kita produksi kedelai masih rendah secara nasional, tetapi pengembangan budi daya tanaman kedelai terus ditingkatkan," katanya.

Pewarta: Mansyur
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013