Pajak bisa berfungsi sebagai alat pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, namun ekonom Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi menyebut hal itu memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mencapainya. Dia menilai fungsi itu tercapai jika masyarakat sudah berada pada tingkat pendapatan tertentu.

"Ada yang menerapkan pajak progresif, semakin tinggi endapatannya, persentase pajaknya semakin besar. Bukan semakin tinggi semakin berat, tapi persentase makin besar," kata Pande.

Artinya, pemerataan terjadi tanpa memberikan dorongan kepada yang di bawah. Negara mengambil pemikiran ini untuk menolong mereka yang berpendapatan rendah sehingga pemerataan terjadi. "Jadi bisa saja pajak sebagai alat pemerataan. Di berbagai negara itu dilakukan," kata Pande.

Sayang, Indonesia tidak menerapkan pajak progresif dalam arti sebenarnya karena menghadapi kendala mengingat 90 persen investasi berasal dari 10 persen masyarakat berpendapatan paling tinggi.

"Harus kita akui yang memberi kontribusi itu orang-orang kaya. Kalau dikenakan pajak progresif akan ada kemungkinan investasi akan buntung," kata Pande.

Untuk itu, dia mendesak pemikiran kembali mengenai tujuan pajak. Menurut dia di Indonesia tidak pernah ada studi tentang pajak sebagai alat pemerataan. "Kalau sudah ada, tidak ada kepincangan seperti sekarang," sambung dia.

Selain itu, dia melihat tarif pajak di Indonesia begitu rendah sehingga belum optimal menjadi alat pemerataan.

Pande memandang ada kesalahan pemikiran bahwa pajak sebagai alat pemerataan dan itu membuat muncul asumsi bahwa yang berpendapatan besarlah yang harus dikenai pajak.

Pajak memang bisa menjadi alat kegiatan memeratakan pendapatan yang pada tingkat pertama untuk membiayai kegiatan pemerintah, sedangkat kegiatan pemerintah sendiri adalah mengatasi ketimpangan pendapatan. Untuk itu, pajak bisa digunakan untuk subsidi atau bantuan kesehatan. "Tapi karena itu tidak dilakukan secara kontinyu, maka hasilnya juga enggak efektif," kata Pande.

Ekonom CSIS ini menyarankan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang berfungsi mengumpulkan pajak mesti memiliki manajemen pengumpulan pajak, demi menghindari ketimpangan dalam pemerataan pendapatan itu. Manajamen yang dia maksud lebih menekankan kepada target wajib pajak sehingga ada keseimbangan antara wajib pajak dan penerima pajak.

"Berikutnya, harus dirumuskan dulu, mau ke mana kita ini? Yang kayuh di sini, distribusi ke sini. Harus satu kesatuan kalau tujuannya untuk pemerataan," sambung Pande.

Menurut dia, pemerataan bisa tercipta jika ada sinkronisasi antara fungsi pengumpul pajak dengan fungsi distribusi pajak.

Dia juga belum bersetuju dengan asumsi keadilan pajak, karena menurutnya istilah ini tidak  ada."Karena ukuran keadilan belum pernah kita rumuskan. Kalau kita ambil dari yang kaya, itu adil?" tanya dia.

Menurut dia, ada prinsip dasar pajak yang semestinya dikenali dalam-dalam, yaitu benefit approach, artinya pengenaan pajak disesuaikan dengan manfaat yang bakal diterima. Selain itu, ada pendekatan yang dia sebut ability to pay approach, yaitu membayar pajak sesuai dengan kemampuan wajib pajak.

"Apa yang disebut dengan adil, itu perdebatan klasik tentang pajak di seluruh dunia," kata dia.

Dia mengkritik pandangan masyarakat Indonesia tentang keadilan. "Kita ini egalitarian. Selalu yang berhasil diasosiasikan dengan negatif, tapi kalau orang miskin kasihan, tanpa melihat kenapa dia miskin," kata dia.

Pada beberapa hal pendapat Pande ini benar, namun ada sejumlah hal lain yang mesti diperhatikan dalam hubungannya dengan kesejahteraan beberapa kalangan yang semestinya menjadi hirauan nasional.  Salah satunya adalah fakta mengenai bertambah makmurnya orang-orang kaya Indonesia karena saham.  Sayang kontribusi pajak mereka rendah. Dari 1.200 orang kaya yang terdaftar sebagai wajib pajak 2011, mereka hanya membayar pajak Rp1,2 triliun atau rata-rata Rp1 miliar setiap orang kaya Indonesia. Lalu, mestikah Ditjen Pajak menarik pajak dari pendapatan saham mereka?

Namun Pande menilai mereka sudah membayar, bahkan pada setiap kali traksaksi. "Buat Indonesia belum terlalu pengaruh karena mereka belum kaya sekali dibandingkan yang lain," kata Pande.

Dia mengkhawatirkan pengenaan pajak yang terlalu banyak bakal menimbulkan kesan orang-orang kaya seperti tengah dimusuhi. "Ditjen pajak harus tahu berapa yang harus diambil. Harus pas dan sesuai jumlahnya. Untuk soal ini bahkan ada negara yang menurunkan pajak karena dianggap terlalu banyak membebani warga negara," kata Pande.

Menurut Pande, tax burden Indonesia masih rendah karena pembayar pajak masih sedikit, padahal marginnya bisa mencapai 30 persen. "Kalau dinaikkan investasi akan buntung," kata dia lagi.

Di luar negeri, menurut dia, ada yang memotong pajak jauh lebih besar daripada Indonesia, tapi mereka baik-baik saja karena kehidupan sudah layak.

Untuk itu, dia menganggap pilihan Indonesia adalah mengambil dari yang kaya dan memberikan kepada yang miskin, atau mendorong penguatan baik si miskin maupun si kaya. "Ini pilihan kita. Ada yang bilang, mendorong orang miskin menjadi kaya sama dengan mendorong orang kaya juga. Tapi dorongan untuk orang miskin harus lebih kuat," kata dia.

Menurut Pande, yang harus dilakukan Indonesia adalah mendorong si miskin lebih kuat. Agar masyarakat lebih sejahtera, masyarakat haru dibuat percaya diri dan mandiri.

Dia menambahkan, isu terpenting pada masyarakat adalah bagaimana mengentaskan orang miskin. "Seperti tadi, 90 persen investasi dari orang kaya, kalau itu kita ambil, berapa yang disalurkan pemerintah?" kata dia yang secara implisit meminta transparansi pemerintah dalam penyaluran pajak.

Karena praktik korupsi di Indonesia marajelala, dia menengarai terjadi penguapan pajak. "Padahal yang diharapkan adalah positive sum game, mengambil secukupnya dari yang berlebih, memberikan ke yang kurang. Ini (miskin) tambah kuat, ini (kaya) tidak melemah, hasilnya positif," kata dia.

Artinya, dia beranalogi, Ditjen Pajak mesti mengetahui pasti berapa kadar pajak yang mesti ditarik dari wajib pajak, sementara penyaluran pajak harus benar-benar dialokasikan kepada sektor yang tepat, sehingga tak ada ketimpangan lagi dalam pendapatan.  Dia berharap itu terjadi, kendati saat bersamaan dia menyangsikannya karena kebocoran pajak masih terus saja terjadi.

Lalu, bagaimana orang miskin bisa dimakmurkan dengan kontribusi pajak? Pande memiliki jawaban, yaitu berikanlah rangsangan lapangan kerja kepada mereka karena pekerjaan membuat mereka mendapatkan sesuatu, apalagi jika mereka bekerja lebih baik lagi.

Pande menilai apa yang seharusnya dilakukan pemerinah sekarang adalah mempercepat yang miskin menjadi tidak miskin lagi sehingga kesenjangan semakin sempit. Selain itu, transparansi harus dibuka karena ini adalah persyaratan tata kelola yang baik.

Pande memandang transparani pada lembaga-lembaga publik kini sudah diperbaiki, kendati belum memadai. Sebaliknya, dia mengapresiasi transparansi yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang memang dituntut transparan dalam berbisnis.

Tuntutan serupa pada lembaga-lembaga publik, setidaknya seperti dilakukan instansi-instansi publik di luar negeri yang transaparan sekali menyajikan dan memperbarui data lewat websitenya.

"Bank Indonesia satu contoh data yang saya pikir bagus dan cepat. Depkeu juga cukup. Tapi Ditjen Pajak saya lihat masih kurang memberikan data ke websitenya," kata Pande.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013