Jakarta (ANTARA News) - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini hingga menembus level Rp11.000 per dolar AS, membuat DPR berencana merevisi Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

"Undang-Undang Lalu Lintas Devisa Indonesia merupakan salah satu regulasi devisa paling liberal sedunia. Tidak hanya itu, UU No. 24 Tahun 1999 tersebut, yang adalah peninggalan era IMF (International Monetary Fund), telah membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah dirontokkan," kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz.

Saat ini draf rancangan revisi itu masih berada di tingkat Deputi Sekjen Perundangan-undangan DPR.

Belum jelas pasal-pasal berapa yang akan direvisi, namun dari sejumlah pendapat di kalangan dewan disebutkan bahwa adanya UU hasil revisi itu diharapkan dapat memperkokoh fundamental ekonomi nasional guna menghadapi permasalahan ekonomi terkini.

Dengan demikian, UU hasil revisi itu bisa dianggap sebagai solusi agar cadangan devisa Indonesia tidak terus melemah karena banyak digunakan untuk intervensi Bank Indonesia (BI) demi menstabilkan rupiah.

Melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir, menurut Menteri Keuangan Chatib Basri, akibat adanya tekanan pada neraca modal. "Ini terjadi setelah Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral AS) mengatakan `quantitative easing` mau di-`scale back`, jadi isunya lebih di neraca modal," katanya.

Tekanan pada neraca modal ini terjadi akibat keluarnya dana pada portfolio surat utang maupun saham, karena investor menarik investasi mereka atas kepemilikan di instrumen obligasi.

Selain itu, kata sejumlah kalangan, melemahnya nilai tukar rupiah juga disebabkan karena merosotnya kinerja perekonomian nasional yang ditandai tingginya defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Defisit transaksi berjalan Indonesia meningkat dari 5,8 miliar dolar AS (Rp58 triliun) atau 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,8 miliar dolar AS (Rp98 triliun) atau sekitar 4,4 persen dari PDB pada Triwulan II-2013.

Transaksi modal dan finansial sejauh ini lumayan, tapi karena transaksi berjalan defisit, maka neraca pembayaran triwulan II-2013 masih defisit 2,5 miliar dolar AS (25 triliun). Angka defisit ini turun karena pada triwulan sebelumnya mencapai 6,6 miliar dolar AS (Rp66 triliun).

Defisit tersebut menjadi sentimen bagi pelaku pasar untuk lebih "memegang" dolar AS daripada rupiah, sehingga dolar AS menjadi jarang di pasar dan BI terpaksa melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa.



PBI

Menurut Harry Azhar Aziz, UU No. 24 Tahun 1999 itu cenderung memberi kelonggaran yang cukup luas kepada BI untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Namun, kata dia, kenyataannya PBI yang ada belum cukup ampuh dalam meredam gejolak pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini. "Bukan hanya itu, devisa bangsa ini malah makin dinikmati oleh pihak luar," katanya.

Harry yang dari Fraksi Partai Golkar itu berpendapat pemerintah Indonesia perlu mencontoh Thailand yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui Undang-Undang Devisa yang sangat ketat. Thailand berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS dengan UU tersebut walaupun saat itu Thailand sedang menghadapi krisis politik.

"Dalam Undang-Undang Devisa di Thailand tersebut, ada kewajiban untuk menempatkan DHE (devisa hasil ekspor) di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut `holding period`. Saya kira ini bagus supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil. Dunia usaha juga jadi tenang," kata Harry.

Saat ini, BI memiliki PBI No. 13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI No. 14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012 yang mewajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB).

Sementara itu, Surat Gubernur BI No. 14/3/GBI/SDM menegaskan bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak dikecualikan dalam kewajiban penerimaan DHE melalui bank devisa dalam negeri.

Karena itu, Harry berpendapat sudah saatnya undang-undang itu direvisi sebab regulasi tersebut dinilai sudah tidak relevan untuk kondisi ekonomi nasional sekarang ini.

"Fraksi Golkar di DPR RI segera mengambil inisiatif untuk merevisi undang-undang itu. Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi. Itu target kami," katanya.

Ia meyakini saat ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dengan mempertimbangkan instabiltas yang terjadi pada pasar uang dan pasar modal sekarang ini.

"Pasar valas (valuta asing) kita mudah kering. Orang asing seenaknya keluar masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus," katanya.

Berkaitan dengan itu Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, BI tidak berencana mengubah sistem devisa bebas yang telah berlaku di Indonesia.

Agus menegaskan, revisi PBI Nomor 14/11/PBI/2012 dari PBI Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, sama sekali tidak direncanakan untuk mengubah sistem devisa bebas menjadi sistem "capital control" atau pengendalian devisa.

PBI tersebut bertujuan untuk melacak besaran potensi DHE Indonesia. Dalam aturan tersebut, BI mewajibkan pelaku ekspor untuk melaporkan DHE-nya di perbankan mitra para eksportir tersebut.

Menurut Agus, BI menerapkan maupun merevisi aturan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan jangkauan BI sebagai bank sentral dan otoritas moneter Indonesia. BI tidak bisa menjangkau wilayah di luar kewenangannya. 

Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013