Namun, untuk keperluan tersebut pesawat tanpa awak yang diberi nama Camar Biru itu perlu pengembangan lebih lanjut,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Pesawat tanpa awak yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dapat dimanfaatkan untuk keperluan patroli pemantauan daerah perbatasan dan laut, kata dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Mesin UGM Gesang Nugroho.

"Namun, untuk keperluan tersebut pesawat tanpa awak yang diberi nama Camar Biru itu perlu pengembangan lebih lanjut," katanya pada ujicoba penerbangan perdana Camar Biru di Lapangan Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, teknologi pesawat tanpa awak Camar Biru itu dikembangkan mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM yang tergabung dalam kelompok riset Flying Object Research Center (Force). Pesawat itu dilengkapi dengan kontroler, sensor, dan sistem telemetri sehingga dapat terbang secara "autonomous".

"Camar Biru itu juga mampu terbang dengan jarak delapan kilometer, terbang dengan kecepatan 60 km/jam. Selain itu, juga dapat difungsikan mengirimkan `live video`, menghasilkan peta udara dari mosaik foto serta mampu `dropping payload` pada lokasi tertentu," katanya.

Ia mengatakan, baling-baling Camar Biru ditempatkan di tengah badan pesawat yang diarahkan ke ekor pesawat. Hal itu dimaksudkan untuk kepentingan keamanan pesawat tetapi tidak mengganggu keseimbangan pesawat selama terbang.

"Dengan baling-baling ditempatkan ke arah belakang, maka kemungkinan saat pesawat jatuh tidak akan merusak motor pesawat, tidak mengganggu saat ada `payload` yang dijatuhkan, dan tidak mengganggu kerja kamera," katanya.

Anggota Force Damar Satrio Guntoro mengatakan, pesawat tanpa awak berukuran panjang 120 cm dengan bobot empat kilogram itu melakukan ujicoba penerbangan perdana mengelilingi kawasan kampus UGM selama 10 menit.

"Pesawat itu terbang tanpa dikendalikan "remote control", melainkan terbang secara `autonomous`. Namun, saat melakukan `take off` dan `landing` dikendalikan melalui `remote control`," katanya.

Menurut dia, pesawat yang telah dikembangkan selama dua tahun itu menghabiskan dana sekitar Rp25 juta. Pada awalnya kesulitan mencari bahan untuk pembuatan pesawat.

"Kami pada awalnya menggunakan bahan fiber, karena terlalu berat sehingga tidak bisa diterbangkan. Setahun kemudian kami menggunakan bahan lebih ringan, paduan komposit dan kayu basah, yang lebih ringan dan dapat diterbangakan," katanya.

Ia mengatakan, komponen badan dan sayap pesawat menggunakan bahan lokal, tetapi komponen elektronik beserta "remote control" masih diimpor. Untuk "software`-nya kami kembangkan sendiri.

Camar Biru itu dapat diterbangkan secara "autonomous" menggunakan sensor mengikuti jalur lintasan di udara berdasarkan titik kordinat GPS, sedangkan perangkat lunak untuk kendali pesawat yang diberi nama "mission planner UGM" menggunakan "software microsoft visual c plus-plus".

"Program itu mampu memonitor posisi dan orientasi pesawat beserta kondisi baterai," katanya.(*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013