Lima terdakwa dipastikan mengambil bagian dalam serangan bunuh diri itu."
Sanaa (ANTARA News) - Pengadilan Yaman hari Rabu memenjarakan lima orang hingga 10 tahun karena mengambil bagian dalam serangan bom bunuh diri tahun lalu yang menewaskan lebih dari 90 prajurit yang sedang berlatih untuk parade militer.

Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP) mengklaim bertanggung jawab atas pemboman itu sebagai bagian dari operasi mereka yang terus berlanjut untuk memerangi pemerintah, lapor Reuters.

"Lima terdakwa dipastikan mengambil bagian dalam serangan bunuh diri itu," kata hakim ketua Hilal Hamed Mahfal, yang membacakan putusan pengadilan.

Ia membebaskan tiga terdakwa dan melepaskan tiga orang lagi karena hukuman mereka sudah dijalani, namun mereka tetap dalam pengawasan polisi selama setahun.

Hakim tersebut juga memerintahkan penyelidikan terhadap tiga mantan pejabat keamanan senior, termasuk keponakan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, karena gagal melindungi prajurit-prajurit itu.

Bulan lalu, pengadilan Yaman menghukum tiga militan Al Qaida antara satu dan tujuh tahun penjara karena berencana membunuh Presiden Abdrabuh Mansur Hadi dan duta besar AS.

Puluhan aparat keamanan dan militer dibunuh dalam dua tahun terakhir di Yaman, banyak diantaranya akibat ledakan bom yang dipasang di mobil mereka atau ditembak oleh penyerang berkendaraan, yang sering dituduhkan pada Al Qaida Yaman dan sekutunya.

Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di kawasan tersebut, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011 yang akhirnya melengserkan Presiden Ali Abdullah Saleh.

Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2011 berhasil menghalau militan Al Qaida dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.

Meski melemah, jaringan teror itu masih bisa melancarkan serangan-serangan terhadap sasaran militer dan polisi.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).

AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.

Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang telah berjanji menumpas Al Qaida.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013