Bagi Prof. Candra Fajri Ananda, SE, MSc, Ph.D, untuk melihat seberapa jauh efektivias pemanfaatan dana pajak untuk pembangunan, maka harus dilihat dengan mengacu desains besar pembangunan, termasuk dalam pendidikan.
 
Pemerintah sendiri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, telah merumuskan 14 manfaat pajak, meliputi fasiltas dan infrastruktur, dana alokasi umum, pemilihan umum, penegakan hukum, subsidi pangan, subsidi BBM, pelayanan kesehatan, pertahanan dan keamanan, pendidikan, kelestarian lingkungan hidup, penanggulangan bencana, kelestarian budaya, transporasi massal, dan biaya listrik terjangkau.

Candra yang merupakan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang, menilai semua bidang kemanfaatan pajak itu bertalian dengan upaya pematangan bangsa dan demokratisasi.

Dia melihat, mengingat di indonesia pendapatan pajak mendominasi struktur APBN dengan proporsi 70 persen, maka sudah seharusnya dana pajak itu kembali dipakai untuk membiayai proses pembangunan dan demokratisasi yang memiliki elemen-elemen pendukung, dari ketersedian infrastruktur yang layak sampai pendidikan berkualitas yang bisa dinikmati siapa pun warga negara Indonesia.

Dalam kaitan pemanfaatan dana pajak ini, juga termasuk sistem penarikan pajak, Candra menggarisbawahi keharusan adanya unsur transparansi, partisipasi dan keterukuran, sehingga tidak hanya proses pembangunan berjalan baik, namun juga hasilnya (outcome) harus terukur dan jelas.

Ini berlaku untuk semua bidang penarik manfaat dana pajak, teristimewa pendidikan. "Angka 20 persen dari APBN yang dikunci untuk pendidikan sudah sangat bagus, namun kita harus melihat sejauh mana outcome-nya, kalau prilaku anak didik dan nilai hasil didik mereka masih di bawah harapan, berarti ada yang mesti diperbaik lagi dalam sistem pendidikan," kata Candra.

Bagi Candra, porsi berapa pun  pun yang dialokasikan APBN untuk pendidikan, tak akan mencapai hasil yang baik dan terukur, jika pemangku kepentingan tidak mengetahui pasti ke mana arah pendidikan nasional mesti dibawa.

Tidak hanya pendidikan, Candra juga melihat ada banyak kekurangan pada pemanfaatan uang pajak, salah satu yang dia tekankan adalah pemanfaatan uang pajak untuk pembangunan infrastruktur.

"Infrastuktur itu faktor penting dalam industri," kata Candra, lalu menerangkan bahwa kegiatan industri adalah vital bagi pembangun dan roda ekonomi yang dampaknya tak hanya menciptakan kesejahteraan, namun juga mendukung proses demokratisasi dan pematangan kehidupan nasional di segala bidang.

Sayang, kata Candra, infrastruktur di berbagai daerah tak cukup memadai untuk bisa mendukung kegiatan industri.  Dia lalu menunjuk jalan yang rusak, sistem transportasi umum yang tidak layak dan fasilitas-fasilitas publik yang selain minim namun juga banyak yang rusak.

Terbengkalainya infrastuktur dan fasilitas publik ini hampir merata terjadi di semua daerah.  Menurut analisis Candra, keadaan ini umum terjadi karena karena daerah-daerah lebih menghabiskan sebagian besar dana pembangunannya (APDB) untuk belanja pegawai yang porsinya bisa mencapai 50 persen lebih dari total APBD.  Candra menunjuk keadaan inilah yang membuat infrastruktur di daerah rusak atau dibangun tanpa memenuhi kebutuhan masyarakat dan pembangunan, tidak saja daerah itu tapi juga dalam perspektif kepentingan nasional.

Tetapi dia masih menaruh harapan setelah tahun ini pemerintah menginisiasi ketentuan yang mengharuskan belanja pegawai tidak lagi mendominasi proporsi APBD. Bagi Candra keharusan ini adalah keniscayaan. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk seefisien mungkin dalam berbirokrasi, dengan tidak lagi jor-joran membelanjakan bagian terbesar dana pembangunan daerahnya untuk gaji pegawai.

Kendati menekankan desain besar pembangunan dan menilainya sentral dalam disproporsionalitas dalam pemanfaatan dana pajak yang disalurkan dalam bungkus APBN/APBD, Candra tetap menekankan keterukuran dan kejelasan dalam hasil.

"Yang penting adalah outcome dan desain awal. Dalam pendidikan misalnya, kita ini mau membangun sekolah atau manusia.  Oleh karena itu desain awal itu penting diperhatikan," kata Candra.

Kendati begitu, Candra yakin desain awal itu sebenarnya telah dirancang dengan bagus oleh Bapenas.  Namun ditengarai pada tingkat penerapan menghadapi kendala, terutama karena senjangnya sistem koordinasi antarlembaga dan tingkat pemerintahan di Indonesia.

Pada sektor pendidikan misalnya, kata Candra, masih terjadi tawuran, nilai di bawah standard, dan prilaku pelaku pendidikan yang tidak terpuji, sehingga hasil-hasil ini menunjukkan pemanfaatan dana pajak untuk pendidikan tidak bisa disebut memuaskan.

Di sisi lain, sebagai orang yang berkompeten dalam soal pajak, pakar pajak kaliber nasional ini meminta rasio pajak Indonesia ditingkatkan karena menurutnya potensi pajak amat besar dan belum optimal ditarik oleh otoritas pajak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak.

"Taruhlah PDB kita Rp7.000 triliun, dan kalau misalnya 10 persen dari ditarik sebagai PPN (pajak pertambahan nilai), maka kita akan mendapatkan dana pajak sebesar Rp700 triliun.  Itu baru dari PPN lho, belum dari jenis pajak lain," kata Candra.

Untuk itu dia meminta pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, untuk bekerja lebih keras lagi dan tidak henti melakukan inovasi.

Di samping itu, Ditjen Pajak, sambung Candra, mesti membangun kepercayaan masyarakat kepada sistem pengumpulan dan distribusi pajak, sehingga masyarakat menyadari kewajibannya membayar pajak.

Candra juga menekankan prinsip keterbukaan, baik pada Ditjen Pajak maupun pada pengguna dana pajak yaitu Kementerian dan Lembaga, bahwa mereka telah mengelola dana pajak dengan baik, selain menjamin uang pajak dirasakan kembali oleh masyarakat.

Caranya, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, kualitas dan akses mudah masyarakat kepada pendidikan, serta tentu saja perbaikan-perbaikan terus menerus dalam 12 bidang manfaat dana pajak lainnya, demikian Candra.


Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013