Jakarta (ANTARA News) - Sidang terdakwa kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang dengan terdakwa mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq mengungkapkan nama-nama lain dari petinggi partai tersebut.

"Kami butuh dukungan dari DPR, artinya dukungan anggaran terkait proyek-proyek yang diikuti, saat pembicaraan antara terdakwa (Luthfi), Ahmad Fathanah dan saya, saat itu Pak Luthfi mengatakan akan berkoordinasi dengan Anis Matta," kata saksi Yudi Setiawan dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Pembicaraan tersebut menurut Yudi yaitu direktur PT Cipta Terang Abadi terjadi di kantor Yudi di Cipaku, Bogor untuk membicarakan mengenai pengumpulan uang hingga Rp2 triliun untuk pemenuhan target PKS dalam Pemilu 2014 dengan rincian Kementerian Pertanian sebesar Rp1 triliun, Kementerian Sosial sebesar Rp500 miliar dan Kementerian komunikasi dan Informasi sebesar Rp500 miliar.

"Anis Matta saat itu menjadi anggota DPR, jadi bila sudah membayar ijon, maka DPR akan mengawal ke kementerian teknis, kalau saya membayar proyek kopi-teh maka mereka mengawal ke kementerian teknis, dan keduanya (Luthfi dan Fathanah) juga mencoba mengomunikasikan dengan Anis Matta," jelas Yudi.

Ijon tersebut adalah sebesar satu persen dari besaran pagu anggaran proyek-proyek di kementerian tersebut.

"Satu persen yang dibayar itu untuk DPR dan Anis Matta," jelas Yudi.

Sayangnya menurut Yudi, ia tidak jadi bertemu Anis Matta, meski akan difasilitasi Fathanah.

Yudi kemudian menyebutkan sejumlah uang yang telah ia transfer ke rekening Fathanah untuk ijon proyek, misalnya, uang senilai Rp4,526 miliar untuk ijon proyek bantuan benih jagung hybrida, bantuan bio komposer, bantuan pupuk NPK dan bantuan sarana "Light Trap".

Proyek kopi dan teh sebesar Rp1,89 miliar dalam bentuk dolar Singapura, pengadaan traktor sebesar Rp1 miliar.

"Ini semua informasi pemberian uang dari Fathanah, tapi semuanya disetujui oleh Pak Luthfi," jelas Yudi.

Ia mengaku memastikan uang yang ditransfer ke rekening Fathanah itu sampai kepada Luthfi dari pembicaraan telepon yang menggunakan "loud speaker" dengan suara Luthfi.

Namun, Yudi tidak pernah mendengar Luthfi dapat mempengaruhi Menteri Pertanian Suswono yang juga berasal dari PKS.

"Tidak pernah dengar dari Pak Luthfi, tapi disampaikan Fathanah, kalau dari Pak Luthfi hanya mengatakan coba nanti akan saya komunikasikan," papar Yudi.

Sedangkan untuk paket tender bibit kopi, Yudi mengaku terkait dengan Wakil Ketua Badan Anggaran dari fraksi PKS Tamsil Linrung.

"Paket kopi diberikan sepengetahuan saya, Denny diberikan oleh Tamsil Linrung, dia orang PKS, orang anggaran," ungkap Yudi.

Denny yang dimaksud Yudi adalah komisaris PT Radina Niaga Mulia yang bersama dengan istrinya, Elda Devianne ikut mengurus proyek-proyek di Kementerian Pertanian dan bermitra dengan Yudi.

"Elda menyampaikan nanti akan ada kewajiban yang harus dibayar pada saat proyek kopi selesai, namun saat pelaksanaannya di tengah-tengah ternyata paket kopi bukan punya Tamsil, jadi menurut Fathanah `hajar saja`," jelas Yudi.

Artinya, meski Yudi awalnya mengaku mengetahui bahwa kewajiban komitmen sebesar 5-6 persen harus dibayarkan kepada Tamsil, tapi Fathanah mengatakan untuk terus melanjutkan usaha untuk mendapatkan proyek tersebut karena proyek itu bukan punya Tamsil.

Akhirnya proyek kopi didapatkan oleh Yudi, namun Kementerian Pertanian baru membayarkan uang muka sebesar 20 persen yaitu sekitar Rp6,4 miliar.

"Sebenarnya harusnya ada sekitar Rp7 miliar, tapi saya hanya terima sekitar Rp6 miliar, dan itu saya keluarkan semua untuk Fathanah dan Luthfi," jelas Yudi.

Secara total, menurut Yudi ia mengeluarkan uang Rp10-20 miliar untuk pengaturan proyek.

Atas kesaksian Yudi tersebut, Luthfi tidak mengakui menerima uang.

"Ada uang yang merupakan sumbangan saksi untuk Pilkada Jakarta, sedangkan sisa uang yang banyak itu katanya dari Fatahanah tidak sepeserpun saya mengetahui dan menerima," kata Luthfi.

Dalam perkara ini, Luthfi didakwa melakukan korupsi dan TPPU berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 atau pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Selanjutnya pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU no 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan Rp15 miliar. (D017/C004)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013