Jakarta (ANTARA News) - Kekuatan suatu bangsa akan sangat tergantung dari visi keberagamaan yang mereka hayati, yaitu yang bermula dari cinta kepada Allah kemudian dikembangkan cinta kepada bangsa dan cinta kepada sesama makhluk.

Bisa saja suatu bangsa berhasil menciptakan kemakmuran yang ditandai oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagaimana yang dialami masyarakat modern. Akan tetapi, apabila kehidupan bangsa itu tidak dilandasi nilai keberagamaan, kehidupan masyarakat menjadi tidak tenteram.

Kalaupun kelihatan sepintas mereka makmur dan serasi, hanyalah bersifat sementara karena titik temunya hanyalah karena di antara mereka ada persamaan kepentingan. Oleh karena itu, perlu dorongan bagi umat Islam untuk memiliki sikap asketisme intelektual, yaitu kerelaan menunda kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan yang abadi.

Firman Allah, yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah memberikan padamu nikmat yang banyak (1) Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah (2) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)." (Q.S. Al Kautsar [108]: 1--3).

Jadi, Islam memandang hidup ini secara komprehensif mencakup rohani dan jasmani, kesatuan akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta pribadi dan sosial. Musuh bagi seorang mukmin maupun muslim tidak ditujukan kepada seseorang atau pribadi. Akan tetapi, ditujukan kepada ide maupun paham yang bertentangan dengan prinsip keadilan terhadap diri maupun lingkungannya.

Puncak dari sikap ketidakadilan dalam Alquran ditegaskan sebagai perbuatan zalim dan digolongkan sebagai perbuatan syirik yang sangat besar. (Q.S. Luqman (31):

Dengan menjadikan diri sebagai bagian dari keislaman paripurna (Islam kafah) seorang muslim akan terlepas dari syirik dan dia kemudian muncul sebagai orang yang adil dan terhindar dari sikap memonopoli kebenaran.

Radikalisme

Belakangan ini, berbagai istilah yang berkembang di tengah masyarakat seperti radikalisme dan fundamentalisme yang sesungguhnya merupakan gambaran sikap keangkuhan karena hanya memandang diri maupun kelompoknya yang benar.

Adalah menjadi tugas semua pihak untuk menyadarkan kelompok yang memiliki pandangan pola keberagamaan cenderung menonjolkan kelompoknya dan memandang rendah kelompok muslim lainnya.

Islam tidak hanya menyuruh berbuat baik kepada sesama muslim, tetapi juga kepada yang bukan muslim. Allah berfirman, artinya: "Allah tidak melarang kamu terhadap orang yang tidak memerangi kamu atas nama agama dan mengusir kamu dari negerimu untuk berbuat kebajikan serta berlaku adil terhadap mereka, sesungguhnya Allah menukai orang-orang yang berlaku adil." (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 8).

Oleh karena itu, perlu upaya untuk mempertemukan persaudaraan seiman. Dan, itu hendaklah diawali dengan saling memperluas wawasan pemikiran guna dapat menangkap pesan Islam dengan penuh tenggang rasa (tasamuh).

Ajaran Islam tidak akan mampu mendekatkan hubungan sesama muslim manakala sikap keberagamaan masih terpaku pada penonjolan pada egoisme pribadi atau kelompok. Rasulullah bersabda, artinya: Agama yang paling dicintai Allah adalah yang selalu mendorong untuk mencintai kebenaran dan tenggang rasa. (Riwayat Abu Daud).

Nabi Ibrahim telah menunjukkan cintanya yang mendalam terhadap putranya Ismail yang sudah lama dinanti-nantikan beliau bersama istrinya, Siti Hajar. Cinta seorang ibu, Siti Hajar, bisa dikalahkan oleh cintanya kepada Allah. Ismail dengan sangat sadar sama sekali tidak menolak untuk menyerahkan dirinya untuk disembelih sebagai bukti ketaatan Ibrahim terhadap Allah, padahal dasarnya hanya berpedoman kepada mimpi. Dalam kaitan itulah, Ibrahim dihadapkan kepada dilema antara membuktikan cinta kepada Allah dan cinta kepada anak.

Hal ini sebagai gambaran dalam kehidupan sehari-hari selalu dihadapkan kepada dilema ini, yaitu antara konsisten menegakkan kebenaran atau kepada tarikan kehidupan duniawi, apalagi ketika seseorang sedang memegang kendali kekuasaan.

Kehidupan remaja di Tanah Air kini tengah berada pada posisi yang kritis. Di satu sisi mereka disuguhi berbagai produk dunia modern yang dapat melupakan fungsinya sebagai generasi muda yang memikul sebagian tanggung jawab masa depan Islam. Atas dasar itu, generasi muda hendaklah selalu memiliki hubungan yang dekat kepada generasi tua. Demikian pula, generasi tua memiliki rasa kasih sayang dan tanggung jawab untuk membimbing kelompok remaja sebagaimana dilukiskan pada hubungan Ibrahim dengan Ismail.

Islam menyatakan bahwa berbagai kelebihan yang dimiliki seseorang tidak lebih dari sekadar barang titipan (amanah) yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Cinta kepada Allah harus dijadikan sebagai yang paling utama, sedang cinta kepada makhluk haruslah memperkuat cinta kepada Allah. Bisa saja yang dicintai itu, istri, anak, harta, jabatan, status sosial, keahlian, profesi, dan lain sebagainya. Namun, semuanya harus ditujukan sebagai wujud cinta kepada Allah.

Bukankah kisah Nabi Ibrahim dengan putranya Ismail menggambarkan umat bahwa pertarungan batin yang dihadapi oleh dua generasi yang berbeda, yaitu tokoh generasi tua (Ibrahim) dan generasi muda (Ismail). Namun, keduanya dapat mempertemukan pola berpikirnya sekalipun sebagai dua pribadi yang berbeda jauh usianya.

Bandingkan sekarang ini betapa banyak para orang tua, pendidik, pemimpin masyarakat, maupun pejabat mengalami kesulitan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan terhadap remaja karena generasi tua sibuk bernostalgia terhadap masa lalu dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.

Menurut Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dampak dari semua itu adalah sebagian anak-anak kesulitan memperoleh keteladanan.

Karena pengaruh berpikir hedonistik, menurut Guru Besar Pemikiran Moderen Dalam Islam Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian orang tua tidak dapat lagi menjadi model yang menjadi panutan kepada anak-anaknya. Akhirnya, anak-anak mencari tokoh keteladanan lain di luar rumah. Hal ini yang mengakibatkan putra-putri kehilangan arah yang membuat mereka terjerumus ke dalam bentuk pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan sebagainya.

Pada sisi lain pula, kalangan generasi tua sulit untuk memberikan kepercayaan kepada generasi muda karena dipandang belum siap untuk diberi kesempatan.

Demikianlah konflik antargenerasi selalu membayang-bayangi ketika akan terjadinya proses alih generasi. Nabi Ibrahim AS memberikan pelajaran penting kepada semua pihak bagaimana dialog keakraban antargenerasi dapat dibangun dengan baik asalkan dilandasi oleh ketulusan.

Mari renungkan gambaran dari pergolakan batin yang akhirnya dimenangkan oleh kecintaan kepada Allah sebagaimana firman Allah, artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkan apa pendapatmu !" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Q.S. Al Shaffat [37]: 102).
(E001/D007)

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013