Nama "Bunda Putri" belakangan ramai dibicarakan karena mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq menyebutnya dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dapat memberikan informasi akurat mengenai kebijakan pemerintah.

Kata "bunda" yang berarti "ibu" atau orangtua perempuan, mengesankan bahwa Luthfi punya keakraban layaknya keluarga dengan sang "bunda" meski tidak punya hubungan darah.

Pada kenyataannya, sidang perkara suap dalam pengurusan kuota impor daging sapi dan pencucian uang yang melibatkan Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq memang melibatkan banyak pihak yang punya relasi kekeluargaan.

Keluarga pertama adalah keluarga pengusaha Billy Gan. Billy adalah Direktur PT Green Life Bioscience, yang bersama Fathanah dan pengusaha lain bernama Sony Putra Samapta membentuk PT Prima Karsa Sejahtera (PKS).

Billy sudah menyetor modal Rp1 miliar untuk perusahaan yang akan berbisnis distribusi pupuk tersebut, dimana putra Billy, Winson Gan, menjabat sebagai komisaris.

Dalam susunan pengurus perusahaan, nama anak Luthfi Hasan Ishaaq, Hudzaifah Luthfi, juga tercatat sebagai komisaris perusahaan.

Namun dalam persidangan Hudzaifah mengaku tidak merasa menjadi bagian dan mendapat gaji dari perusahaan itu.

"Saya tidak tahu kenapa nama saya ada di sini," kata Hudzaifah, seorang lulusan Institut Teknologi Bandung.

Ketika pada Januari 2013 Fathanah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Billy dan Winson ikut diperiksa dan wajib menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian uang dia kepada Fathanah.

Setelah keluarga Billy, ada keluarga Andi Pakurimba Sose, Direktur Utama PT Indonesia Timur (Intim) Perkasa.

Bersama istrinya, Komisaris PT Intim Perkasa Evi Anggraeni, putranya yang menjabat sebagai Direktur PT Intim Perkasa, Andi Reiza Akbar Sose, serta menantunya, Yulia Puspitasari, Andi Pakurimba harus bersaksi dalam persidangan pada 26 September 2013.

Andi Pakurimba sekeluarga berurusan dengan Fathanah karena kerap memberikan pinjaman uang kepada Fathanah melalui rekening istri, anak dan menantunya.

"Masih tersangkut Rp1,8 miliar di terdakwa (Fathanah) dari uang sekitar 500 ribu dolar AS," kata Andi Pakurimba saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Fathanah juga sempat mendatangkan calon investor dari Korea Selatan bagi PT Intim Perkasa untuk berinvestasi dalam pembangunan tangki penampung minyak di Takalar, Makassar, Sulawesi Selatan.

Namun investor dari Korea yang didatangkan Fathanah melalui Hudzaifah Luthfi menghilang setelah mengeluarkan dana hingga Rp8 miliar untuk pembebasan lahan.

Sementara Pakurimba sudah memberikan 46 persen saham perusahannya kepada Luthfi dan Hudzaifah serta pengusaha Ahmad Maulana dan Fathanah masing-masing satu persen sehingga keluarga Pakurimba hanya tinggal punya saham 52 persen.


Keluarga Anis Matta

Keluarga ketiga yang terlibat dalam kasus ini adalah keluarga Presiden PKS Anis Matta.

Adik Anis Matta, Saldi Matta, yang merupakan pengusaha di bidang jasa penyelenggaraan acara dan penjualan tiket perjalanan mengaku kerap meminjamkan uang ke Fathanah.

"Terdakwa pernah pinjam uang ke saya antara 13-15 Oktober 2012 Rp50 juta, lalu pada 25 Oktober 2012 Beliau telepon saya katanya mau beli tas LV (Louis Vutton) di Senayan Rp20 juta tapi kartu kreditnya tidak bisa digunakan, selanjutnya pada 14 November 2012 juga minta tolong pinjam uang Rp20 juta," kata Saldi di persidangan.

Saldi juga menyediakan tiket pergi pulang untuk Fathanah dan keluarganya saat melakukan perjalanan di dalam maupun luar negeri.

Persoalan menjadi bertambah repot karena Saldi mengurus penjualan sejumlah tanah milik Anis, dan salinan akta tanah tersebut ditemukan dalam tas Fathanah saat ia ditangkap KPK.

Sementara Anis Matta terlibat dalam pusaran kasus tersebut karena pernah beberapa kali berada dalam satu acara dan berkomunikasi dengan Fathanah untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) Takalar dan pemilihan gubernur Sulawesi Selatan.

Dalam pemilihan gubernur Sulawesi Selatan, calon dari Partai Demokrat sekaligus Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin harus merogoh Rp8 miliar agar diusung oleh PKS.

"Awalnya diminta Rp10 miliar, tapi kami sanggupnya hanya Rp8 miliar, dibayar secara bertahap," kata Ilham saat bersaksi dalam sidang pada 19 September.

Ilham harus tetap membayar dalam jumlah besar meski istrinya masih punya hubungan saudara dengan istri Anis Matta.

"Saya sengaja memisahkan hubungan partai dan keluarga," kata Anis beralasan.

Sayangnya Anis membantah bahwa PKS mensyaratkan pemberian uang tersebut.

"Sesuai mekanisme, seluruh penentuan pemimpin daerah dari kabupaten sampai gubernur diserahkan ke Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), selanjutnya DPW mengajukan surat kepada DPP (Dewan Pimpinan Pusat) untuk disahkan," ungkap Anis.


Keluarga keempat

Keluarga keempat yang memiliki kaitan dengan kasus ini adalah pasangan suami istri komisaris-direktur PT Radina Bio Adicipta, Elda Devianne Adiningrat dan Denny Pramudia Adiningrat.

Elda adalah orang yang aktif menghubungkan Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman dengan Fathanah dan Luthfi agar mendapatkan tambahan kuota impor daging sapi.

Sedangkan Denny menjadi penghubung aktif antara Direktur PT Cipta Inti Perkasa milik Yudi Setiawan dengan Fathanah dan Luthfi agar mendapatkan proyek bibit kopi dan jagung.

"Hasil pertemuan adalah Ustadz Luthfi menyetujui akan membantu penambahan kuota impor daging, tapi ini menurut terdakwa (Fathanah) Pak," ungkap Elda pada sidang 22 Agustus 2013.

Demi mendapatkan proyek kopi senilai Rp35 miliar dan proyek jagung senilai Rp36 miliar tersebut, Yudi mengeluarkan uang hingga sekitar Rp20 miliar melalui Denny dan Elda untuk Luthfi dan Fathanah.

Hasilnya PT Cipta Inti Permindi yang juga milik Yudi pendapatkan proyek kopi sementara proyek jagung jatuh ke perusahaan milik Denny, PT Radina Bio Adicipta, karena Denny dan Yudi pecah kongsi.

"Total yang ada buktinya ada Rp20 miliar saya keluarkan untuk Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq dan Fathanah," kata Yudi Setiawan dalam sidang 3 Oktober lalu.


Keluarga Hilmi

Keluarga keenam yang terlibat dalam perkara ini adalah keluarga Ketua Dewan Syuro PKS, Hilmi Aminuddin.

Hilmi belum pernah bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi namun dia beberapa kali diperiksa penyisik KPK sebagai saksi.

Anak Hilmi, Ridwan Hakim, pun mengaku melakukan pertemuan di Kuala Lumpur pada 20 Januari 2013 dengan Elda Devianne dan Fathanah untuk berbicara mengenai teknis pengajuan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

Dalam pertemuan tersebut terkuak bahwa Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman ingin memesan tambahan kuota impor daging lewat jasa Elda dan Fathanah, namun Elizabeth masih berutang Rp17 miliar kepada Hilmi Aminuddin dari proyek sebelumnya.

"Ada komitmen yang tidak beres, ada janji yang tidak terpenuhi dari Ibu Elizabeth kepada Ridwan terkait urusan yang dulu," kata Elda dalam sidang 22 Agustus 2013.

Namun Ridwan berkelit, mengaku tidak mengetahui pembicaraan mengenai uang dalam pertemuan di Kuala Lumpur.

"Saya kebutulan di sana, tiba-tiba terdakwa muncul, saya diajak Luthfi ke Kuala Lumpur karena ada acara PKS, saya banyak teman di sana," ungkap Ridwan.

Ridwan pun kembali berkelit saat diputarkan rekaman pembicaraan antara dia, Luthfi Hasan Ishaaq, dan seseorang yang disebut "Bunda Putri" dalam rekaman pembicaraan telepon 28 Januari 2013, atau sehari sebelum KPK menangkap Fathanah.

Ketika Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango bertanya: "Siapa Bunda putri?" Ridwan menjawab, "Dia mentor bisnis saya."

Selanjutnya dalam sidang 10 Oktober 2013, Luthfi menyebutkan bahwa Bunda Putri adalah sosok yang tahu jelas informasi mengenai kebijakan Presiden Susilo Bambany Yudhoyono.

"Dia adalah orang yang banyak punya informasi, ada banyak orang yang dekat dengan SBY dan membawa informasi dengan akurasi yang sangat tinggi, jadi saya perlu dapat info permulaan untuk dianalisa, jika ada reshuffle sudah statement resmi dari kami misalnya seperti saat harga BBM naik, ada menteri PKS yang diambil satu," jelas Luthfi.

Akhirnya masyarakat cuma bisa menunggu KPK mengungkap sosok "Bunda Putri" dan mungkin menguak peran keluarga-keluarga lain dalam kasus ini.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013