Ada banyak manfat pajak untuk pembangunan, namun yang umum diidentifikasi adalah 14, yaitu fasiltas dan infrastruktur, dana alokasi umum, pemilihan umum, penegakan hukum, subsidi pangan, subsidi BBM, pelayanan kesehatan, pertahanan dan keamanan, pendidikan, kelestarian lingkungan hidup, penanggulangan bencana, kelestarian budaya, transporasi massal, dan biaya listrik terjangkau.

Namun Dr. Ning Rahayu, akademisi Universitas Indonesia yang mengajar pajak internasional, manajamen pajak dan seminar pajak, tak ingin merincinya. Baginya yang utama adalah transparansi dalam alokasi dana pajak.

Menurut Wakil Ketua Tax Centre Universitas Indonesia ini, pemanfaatan dana pajak di Indonesia tak bisa dilihat dan diawasi langsung masyarakat.

"Kalau di Indonesia kadang pemanfaatan dana pajak enggak terlihat langsung masyarakat sehingga masyarakat kadang berpikiran 'mengapa harus pajak', tokh sekolah tetap mahal, jalanan rusak, rumah sakit juga mahal," kata dia.

Pemikiran ini timbul karena alokasi dana pajak tak dilihat langsung masyarakat, berbeda dari misalnya Singapura yang ketika membangun jalan layang pun dipancangi papan pengumuman bertuliskan "Jalan layang ini dibiayai dana pajak Anda". Ini membuat masyarakat merasa negara telah benar menggunakan pajaknya. "Di Indonesia, belum ada yang seperti itu," kata Ning.

Ning menilai Indonesia patut mencontoh dan menerapkan budaya transparan itu agar orang tak lagi bertanya "Ke mana uang pajak kami?"

Dia menilai masyarakat harus memiliki ruang untuk menelusuri arah alokasi pajak sehingga mereka terus membayar pajak. "Tunjukkan bentuk alokasi pajak itu kepada masyarakat, misalnya rumah sakit ini atau gedung inbi dibangun dari dana pajak."

Ning juga menganggap paradigma pajak harus diubah. "Pajak itu bukan beban, tetapi partisipasi pembangunan bangsa," kata Ning seraya mengatakan negara bertanggungjawab untuk menanamkan pikiran kepada rakyatnya bahwa pajak bukan beban.

Dia mengkritik penggunaan istilah "wajib pajak" yang makin merepresentasikan pajak memang beban. "Di luar negeri namanya tax payer (pembayar pajak)," kata Ning memberi perbandingan.

Ning memandang, demi transparansi alokasi dana pajak, fungsi dan peran lembaga-lembaga berkaitan dengan pengelolaan pajak, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Anggaran, harus dijelaskan kepada masyarakat. "Karena kurang transparan, masyarakat belum mengetahui fungsi-fungsi itu," kata Ning.

Paling tidak Ditjen Pajak menanamkan pengetahuan bahwa fungsi alokasi pajak itu ada pada Ditjen Anggaran, namun Ditjen Anggaran tak boleh berdiri sendiri.

"Harus bekerjasama dengan Ditjen Pajak untuk pembangunan rakyat, misalnya dalam pembangunan rumah sakit tadi. Artinya Ditjen Anggaran juga transparan membudayakan mana anggaran pajak yang bisa dipakai," kata Ning.

Menurut Ning, masyarakat harus diyakinkan bahwa mereka memiliki alasan kuat untuk membayar pajak. Otoritas bisa memulai hal ini dari sosialisasi filosofi membayar pajak yaitu Pasal 33 UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam dan isinya sebesar-besarnya dipergunakan ntuk kemakmuran rakyat.

"Sumber daya kan banyak, salah satunya pajak," kata Ning. Apalagi pajak telah menjadi tulang punggung dengan mengambil 70 persen porsi APBN. Ning menekankan bahwa pajak adalah partisipasi pembangunan bangsa yang kembali untuk kepentingan pembayar pajak.

Salah satu kepentingan pembayar pajak dan bangsa adalah pendidikan yang kini mendapat alokasi terbesar 20 persen dari total APBN. "Generasi penerus harus didukung pendidikan yang komprehensif dan up to date. Apalagi sekarang persaingan dengan dunia luar demikian gencar. Kalau enggak dibekali pendidikan yang kuat, kita bisa tergilas," kata Ning.

Untuk itu Ning menganggap wajar alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan, namun dia meminta evaluasi untuk input dan output pendidikan. "Telusuri pada bagian mana kekurangannya," katanya.

Dia tak menganggap penting penambahan porsi dari angka 20 persen seperti sekarang berlaku. Yang penting angka itu efektif dan efisien. "Itu pun kalau kita lihat masih banyak kekurangan, misalnya bangunan fisik yang masih mengenaskan," kata Ning. Apalagi jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Malaysia, anggaran sebesar itu hanya untuk mensubsidi sekolah negeri, padahal Malaysia sudah bisa mensubsidi sekolah swasta. "Malaysia berpikir tokh outputnya nanti sama untuk generasi penerus bangsa juga, apakah itu keluaran negeri atau swasta."

Intinya, alokasi sebesar apa pun harus sebanding dengan kejelasan peruntukannya, baik kepentingan fisik maupun non fisik pendidikan. "Misalnya pendidikan up to date untuk guru. Jenjang pendidikannya pun harus diperhatikan," kata Ning, lalu menunjuk ketentuan Wajib Belajar 9 tahun yang disebutnya mesti lebih bisa dinikmati semua orang Indonesia.

Dia juga menggarisbawahi perbaikan kurikulum pendidikan yang disamping bisa memenuhi kebutuhan nasional, namun juga berbasis internasional agar sistem pendidikan Indonesia bisa bersaing. Output peningkatan kualitas pendidikan, seperti kualitas guru, juga harus terlihat dan terukur. Namun tetap harus ada evaluasi. "Di Kementerian Pendidikan mungkin yang harus jelas pengawasan terhadap input output. Misalnya, keterampilan guru, dosen atau sertifikasi guru," kata Ning.

Evaluasi ini tak berhenti pada sekadar sertifikasi karena kemampuan pelalu pendidikan harus terus dipantau. "Misalnya profesor, mana bukti dia harus rutin membuat buku penelitian. Dosen bukan hanya sekadar ngajar. Apa tri dharma perguruan tinggi yang telah dia lakukan. Misalnya seminar, jangan hanya menjadi peserta seminar," kata dia lagi.

Selain pendidikan, Ning menilai ada beberapa kemajuan dalam pemanfaatan uang pajak untuk beberapa sektor, seperti sektor kesehatan di DKI Jakarta yang disebutnya bisa diadopsi ke tingkat nasional. "Untuk sektor militer, mungkin perlu dilihat lagi sarana prasarana yang ada. Kita bisa benchmark ke negara lain. Kira -kira peralatan kita sudah memadai atau belum," sambung Ning.

Pemanfaatan untuk sektor transportasi juga terlihat menonjol. DKI di bawah Gubernur Joko Widodo misalnya, merintisnya lewat bekerjasama dengan PT KAI untuk pemberian subsidi. Tapi Ning menilai subsidi ini seharusnya diberikan tak hanya untuk jangka waktu tertentu. Sementara pemanfaatan pajak untuk kebutuhan sekunder perlu lebih lebih ditingkatkan, seperti sektor budaya yang di dalamnya termasuk agama dan pendidikan. Untuk subsidi BBM, Ning lebih memilih subsidi uang pajak untuk tiket kereta dan angkutan umum, bukan untuk konsumsi BBM.

Namun semua itu tak ada apa-apanya jika tak ada pengawasan pada pengalokasiannya. Ning menganggap, sistem pengawasan alokasi pajak mesti terus diperkuat. "Kalau melihat kasus-kasus yang telah mencuat misalnya, dana pajak telah diselewengkan, itu artinya pengawasan belum maksimal," kata Ning.

Dia mengapresiasi langkah keras Ditjen Pajak yang telah memiliki lembaga "KITSDA" untuk mengawasi disiplin aparaturnya. "Mereka juga sudah menerapkan whistle-blowing effect. Mereka juga bekerjasama dengan KPK," katanya lagi.

Tetapi pengawasan juga berlaku untuk lembaga-lembaga penerima saluran dana pajak, misalnya Kementerian Pendidikan. Ning menganggap  masyakarakat mesti turut mengawasi. "Masyarakat harus diberi saluran khusus untuk melaporkan kejanggalan-kejanggalan dan mendapat jaminan perlindungan dari kemungkinan akibat pelaporan mereka tadi," demikian Ning.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013