Jakarta (ANTARA News) - Suatu hari di sebuah negeri,  seorang ibu bernama Ibu Brani (Sari Madjid) dengan lantang menghadapi Juru Rekrut dan Sersan Resimen Matahari Hitam.

Negerinya sedang dilanda perang antara Resimen Matahari Hitam dan Resimen Matahari Putih. Ibu Brani, tanpa rasa takut sedikit pun, menolak menunjukkan surat-surat saat melewati penjagaan tentara Resimen Matahari Hitam.

"Mungkin aku dipanggil 'Brani' karena takut bangkrut," kata Ibu Brani yang sebenanya memiliki nama bernama Anna Pirling itu.

Ibu Brani berkeliling dengan gerobaknya menjajakan dagangan, mulai dari pakaian hingga perlengkapan perang. Gerobak "Kantin Ibu Brani" berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Ditemani ketiga anaknya, Elip, Fejos, dan Katrin, Ibu Brani menembus kehancuran akibat perang yang ada di sekitarnya. Ia tidak peduli lagi, selama mereka masih bisa meraih keuntungan.

Ibu Brani sangat ulet menawarkan daganannya. Saat  Domba si Koki (Supartono JW) mengeluh burung yang dijualnya terlalu mahal, Ibu Brani melihat peluang kedatangan Jendral Hitam (Budi G. Suryadi) yang meminta segera hidangan jamuan makan, sehingga mau tak mau Koki pun membeli dagangannya.

Kehidupan mereka berubah saat Elip (Rangga Riantiarno) yang berbadan besar terpikat menjadi tentara. Fejos (M. Bagya) yang lugu pun direkrut sebagai Juru Bayar Resimen Matahari Hitam.

Katrin (Ina Kaka) yang bisu kini yang menemani Ibu Brani berjualan di tengah perang. Ibu Brani bertekad tidak akan mengizinkan Katrin menikah dengan tentara.

"Kalau mereka lihat muka mulus, pelacur di dunia akan bertambah satu," kata Ibu Brani sewaktu mengotori wajah Katrin agar tentara tidak terpikat.

Ibu Brani tidak ingin putrinya itu bernasib seperti Ipit Poter (Daisy Lantang) si pelacur.

Niat meraup untung dari perang tidak berjalan mulus. Ibu Brani dan gerobaknya tertatih, meraih ambisi atau menjadi korban perang.


Perang

Lakon berjudul "Ibu" ini merupakan saduran Teater Koma dari drama berjudul "Mutter Courage und ihre Kinder" karya sastrawan Jerman, Bertolt Brecht.

Sutradara Nano Riantiarno melihat tema manusia yang diusung dalam lakon ini dapat saja terjadi di mana-mana, meski aslinya berlatar Eropa pada tahun 1600an.
Seperti yang disampaikan tokoh Sersan Matahari Hitam (Alex Fatahillah), perang berguna untuk mengatasi dekadensi yang terjadi akibat masa damai. Masa damai, menurut sang Sersan, bila berlangsung terlalu lama bisa membuat "sakit jiwa".

"Tidak ada pemerintahan tanpa peperangan. Manipulasi berwujud apapun itu namanya perang. Jangan sampai stop perang. Rugi. Kalau perlu, bikin perkara supaya perang tambah semarak," kata sang Sersan dalam pertunjukan yang diadakan Kamis (31/10) malam di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM).

"Apa yg terjadi di "Ibu" adalah sesuatu yang terjadi di sini. Bicara menguasai daerah lain pasti ada hubunganya dengan kekuasaan, politik, ekonomi," kata Nano saat menggelar jumpa pers beberapa waktu lalu.

Perang menjadi kehidupan sehari-hari Ibu Brani. Ia tidak peduli harus memihak kepada siapa, kelompok Hitam ataupun Putih. Peluang meraup keuntungan dimanfaatkannya sebisa mungkin.

"Aku tidak punya beban untuk bilang aku memihak pemenang," kata Ibu Brani.

"Menang atau kalah tetap butuh sesuatu yang mahal untuk kaum lemah seperti kita."

Ketidakberpihakan Ibu Brani ditunjukkan dengan bendera yang dipasangnya di gerobak. Ketika berada di wilayah Matahari Hitam, bendera itu lah yang ia kibarkan. Saat Matahari Putih datang menggempur tentara Hitam, ia pun segera mengganti benderanya.

Ibu Brani juga turut menyoroti keadaan di sekitarnya saat itu, korupsi.

"Korupsi dalam manusia adalah sama dengan kasih sayang Tuhan. Dan korupsi itulah satu-satunya harapan kita sekarang. Selama kita punya harapan, akan selalu ada hukuman yang ringan," katanya dengan lantang.

"Ibu" merupakan karya Teater Koma yang ke-131. Ibu dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, TIM, Cikini, pada tanggal 1 hingga 17 November pukul 19.30. Tiket dijual seharga Rp 75.000 - Rp 300.000.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013