Sebagai warga dunia yang bertanggung jawab, kita harus menurunkan emisi,"
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia mempertahankan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen saat menghadiri KOnferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia, bulan November lalu.

Pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi 25 persen dari emisi tahun 1990, menjadi 3,8 persen dari emisi tahun 2005. Australia menghapus beberapa kebijakan perubahan iklim mereka seperti Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company, dan DOmestic Carbon Pricing Scheme.

"Sebagai warga dunia yang bertanggung jawab, kita harus menurunkan emisi," kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar saat mengadakan jumpa pers paparan hasil perundingan COP 19 di kantor DNPI, Selesa.

DNPI dalam laporan "Arah Growth Green Indonesia" (2010) menulis estimasi emisi gas rumah kaca di Indonesia tahun 2005 mencapai 2,1 Giga ton (Gt).Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 26 persen pada tahun 2020, kurang lebih sebanyak 0,67 Gt.
  
Apalagi, Rachmat melanjutkan, 78 persen dari komitmen 26 persen berada di Kementerian Kehutanan, yang mengalami kemajuan dalam mengurangi deforestasi.

"Saya yakin bisa melewati 26 persen without assistance," tambahnya.

Selain itu, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem trasnportasi massal yang ramah lingkungan (Sustainable urban Transport Initiative-Nationally Appropriate Mitigation Action/SUTRI NAMA). Indonesia akan mendapat bantuan dana dari Inggris dan Jerman di bawah NAMAs Facility.

Selain Indonesia, proposal dari Chili, Kosta Rika, dan Kolombia,juga turut didanai. Indonesia dan Kolombia merupakan negara pertama yang mendapat dukungan dari dunia internasional untuk kegiatan transportasi.

Menurut Kuki Soejachmoen, Sekretaris Kelompok Kerja Negosiasi Internasional DNPI, bentuk transportasi massal itu kemungkinan adalah non-motor maupun pedestrian. Tiga kota yang nanti menjadi pilot proyek ini adalah Medan, Manado, dan Batam.

United Nations Climate Change Conference 19 diadakan di Warsawa, Polandia, pada 11-23 November 2013. Dalam pertemuan itu, rachmat menyoroti ada empat keputusan penting yang dihasilkan yaitu masalah pendanaan perubahan iklim dapat segera dimobilisasi dengan tingkat kepastian tinggi di negara maju untuk meningkatkan aksi pengendalian iklim di negara berkembang, tuntutan dari negara berkembang terutama mekanisme loss and damage perubahan iklim baik yang bersifat ekstrim maupun slow on set, serta keputusan REDD+ yang bersifat teknis, pendanaan yang mencakup monitoring dan pelaporan.

"Ini merupakan tahapan untuk COP21 tahun 2015 di Paris. Kalau di Warsawa nggak ada rekomendasi, nothing happens," katanya.

Negara-negara pihak UNFCCC menyepakati pada COP21 nanti di Paris, Prancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara pihak (applicable to all parties) sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca tahun 2020. Draft kesepakatan pasca 2020 itu akan dirumuskan pada COP20 di Lima, Peru, tahun 2014.(*)

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013