Dilema obat-obatan berbahan enzim babi

  • Selasa, 17 Desember 2013 06:15 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Obat-obatan dalam dunia kesehatan memiliki arti penting untuk kesembuhan pasien meski terdapat kontroversi jika bahan-bahan farmasi tersebut mengandung enzim lemak babi yang haram bagi umat Islam.

Menurut Profesor Hasbullah Thabrany, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), produk industri farmasi yang mengandung lemak babi tidak bisa disetarakan begitu saja statusnya sebagaimana makanan dan minuman.

"Karena keterbatasan, terkadang dokter harus memberikan obat-obatan untuk pasien meski di dalamnya memiliki unsur dari tubuh babi," kata guru besar UI itu dalam sebuah diskusi tentang RUU Produk Jaminan Halal (RUU PJH) di kawasan Tebet, Jakarta, Senin.

"Bagaimana keadaannya jika dalam keadaan darurat hanya ada obat manjur dengan kandungan babi? Tentu hal ini akan menjadi dilema apakah boleh atau dilarang bagi seorang Muslim."

Hasbullah memiliki pandangan terkait obat yang terdiri dari unsur babi berdasarkan pada Alquran surat Al-Baqarah ayat 113.

"Menurut saya dalam keadaan darurat boleh dipakai dan itu tidak masalah," katanya.

Senada dengan Hasbullah, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Darojatun Sanusi mengatakan RUU PJH harus mengakomodir kepentingan industri farmasi.

"Produk farmasi berbeda dengan makanan dan minuman. Pembuatan produknya harus melewati proses yang ketat tidak seperti makanan dan minuman," katanya.

Sebelumnya Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan produksi obat tetap mengutamakan bahan dasar halal sehingga tidak menimbulkan keresahan masyarakat terkait penggunaan bahan baku obat yang diduga tidak halal.
 
Ia mengemukakan, obat yang diproduksi menggunakan bahan yang mengandung babi dengan sifat kedaruratan, karena tidak ada bahan lain sebagai penggantinya, maka diperbolehkan dalam Islam.

Namun, Suryadharma menyatakan, jika masih ada bahan dasar lain yang halal dan tidak mengandung unsur yang diharamkan, maka penggunaan bahan halal tetap diutamakan sehingga umat Muslim tenang mengonsumsinya.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait