Jakarta (ANTARA News) - Nada kekecewaan Jaksa Agung Basrief Arief tidak bisa disembunyikan yang terlihat dari nada bicaranya saat mengungkapkan kasus Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Subri, yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal tersebut terekam dalam konferensi pers dengan wartawan mengenai catatan akhir tahun di lembaga penuntut umum tersebut di Jakarta, Senin (23/12).

Pasalnya, bukan apa-apa, akhir tahun 2013 seharusnya diakhiri dengan wajah manis. Namun, sebaliknya ditutup dengan kedukaan hingga mementahkan segala cara untuk meningkatkan citra Korps Adhyaksa yang selama ini selalu terganjal oleh perilaku jaksa.

Berbagai cara telah dicoba untuk meminimalisasi dari perilaku jaksa itu, seperti pemberian remunerasi dan peningkatan pengawasan. Namun, kembali lagi kepada persoalan mental.

"Sebenarnya kita harapkan pada tahun 2013 berakhir dengan kinerja baik. Akan tetapi, mendapatkan hantaman keras terkait dengan kasus itu," katanya.

Hingga tidaklah mengherankan jika orang nomor satu di korps penuntut umum itu menyatakan permohonan maafnya kepada masyarakat luas jika kejaksaan belum memberikan kinerja yang optimal mengingat masih adanya sejumlah kekurangan.

Kendati demikian, upaya Kejagung untuk membersihkan dari oknum jaksa tidak berhenti yang sanksinya mulai dari tingkat ringan, sedang, sampai berat. Selain itu, pegawai kejaksaan nonjaksa yang nakal juga turut ditindak tegas.

Sepanjang 2013, Kejagung melalui Bidang Pengawasan telah menjatuhkan sanksi terhadap 98 jaksa nakal yang melanggar kode etik.

"Para jaksa dijatuhi sanksi karena melanggar berbagai disiplin kepegawaian," kata Jaksa Agung Basrief Arief.

Ia menyebutkan ke-98 jaksa yang dijatuhi sanksi itu terdiri atas 36 jaksa mendapatkan hukuman ringan, 46 hukuman sedang, dan 16 jaksa terkena sanksi berat.

Selain itu, Kejagung juga menghukum pegawai yang nakal di lingkungan kejaksaan seperti di bagian tata usaha.

Tercatat sebanyak 60 pegawai yang dihukum, terdiri atas tiga orang terkena hukuman ringan, 35 orang terkena hukuman sedang, serta 22 orang terkena hukuman berat.

Sebanyak empat orang jaksa telah dilakukan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pembebasan dari jabatan fungsional jaksa sebanyak tiga orang jaksa, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebanyak tiga orang.

Pembebasan dari jabatan struktural sebanyak tiga orang serta pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS sebanyak dua orang jaksa. Pemberhentian dari PNS tersebut, satu orang karena terkena tindak pidana, katanya,

Sanksi untuk pegawai nonjaksa, yakni sebanyak 11 orang telah dilakukan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, enam orang dilakukan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, serta enam orang dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Dia menyesalkan prestasi kejaksaan pada akhir 2013, tercoreng dengan adanya penangkapan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Subri, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga menerima suap terkait dengan perkara pemalsuan sertifikat dengan terdakwa Sugiharta alias Along.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida menegaskan bahwa tertangkap tangannya Kajari Praya, NTB, Subri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi bukti jajaran kejaksaan cenderung "memproyekkan" kasus-kasus korupsi di daerah.

"Tertangkap tangannya Kajari Praya, Subri, oleh KPK menjadi bukti jajaran kejaksaan cenderung memproyekkan kasus-kasus korupsi di daerah. Ini sulit terbantahkan, dan pada tingkat tertentu pelakunya tak bisa lagi disebut sebagai oknum," kata Wakil Ketua DPD Laode Ida di Jakarta, Senin.

Laode menilai hal semacam itu sudah menjadi bagian dari motivasi para pejabat penegak hukum yang ditugaskan di daerah.

"Ada dugaan, makin bermasalah para pejabat di daerah, semakin diamati atau jadi target utama para pejabat penegak hukum untuk bertugas di daerah itu," kata Laode.

Laode juga menduga adanya "sistem setoran berantai ke atas" dari pejabat yang bertugas di daerah.

Oleh karena itu, Laode mengaku tidak heran jika para pejabat penegak hukum yang bertugas di daerah dan juga atasannya di Jakarta hidupnya mewah, kaya raya, di luar kewajaran harta yang dimiliki oleh seorang PNS.

"Tidak heran juga jika korupsi di daerah kian merajalela (seperti juga diakui oleh Kejagung pada Hari Antikorupsi lalu)," kata Laode.



Penyelamatan Uang Negara



Kendati citra Kejagung tercoreng atas perilaku oknum jaksa tersebut, publik pun jangan menghapuskan keberhasilan yang telah dilakukan oleh Kejagung selama 2013 yang dapat terlihat dari keberhasilannya mengamankan keuangan negara dari tindak pidana korupsi yang mencapai angka Rp403.102.000.215 dan 500.000 dolar AS.

"Penyelamatan keuangan negara tahap penyidikan dan penuntutan sebesar Rp403 miliar," kata Basrief Arief.

Uang yang berhasil diselamatkan itu, kata dia, meningkat dibandingkan pada tahun 2012 sebesar Rp302.609.167.229 dan 500 dolar AS, serta pada tahun 2011 sebesar Rp198.210.963.791 dan 6.760,69 dolar AS.

Demikian pula kasus tindak pidana korupsi yang disidik pada tahun 2013 mencapai 1.646 kasus atau meningkat dibandingkan pada tahun 2012 sebanyak 1.401 kasus dan 2011 tercatat 1.624 kasus.

Untuk tingkat penyelidikan pada tahun 2013 sebanyak 1.696 kasus, pada tahun 2012 tercatat 833 kasus, dan 2011 sebanyak 699 kasus.

"Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan mengalami peningkatan, baik dari segi jumlah penanganan perkara korupsi maupun jumlah penyelamatan keuangan negara tahap penyidikan dan penuntutan," paparnya.

Ia juga menyebutkan dalam kurun waktu Januari 2012 sampai November 2013, kejaksaan telah melaksanakan eksekusi pidana badan sebanyak 815 terpidana.

Selain itu, dia juga menyoroti soal laporan Koalisi Masyarakat Antikorupsi/Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan terdapat 57 terpidana belum dieksekusi.

Terhadap 57 terpidana tersebut, kata dia, setelah dilakukan klarifikasi dan pendataan, diperoleh bahwa hasilnya sebanyak 20 terpidana sudah dieksekusi.

Lima terpidana diputus bebas/ontslag oleh Mahkamah Agung RI, dua terpidana belum berkekuatan hukum tetap, serta dua tidak terdapat perkara tindak pidana korupsi atas nama yang dilaporkan di Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan.

"Sebanyak 25 terpidana masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan tiga orang dalam kondisi sakit," tuturnya.

Oleh Riza Fahriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013