Mahkamah Konstitusi (MK)dalam putusannya mengabulkan gugatan uji materi (judicial riview) terhadap UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dengan subtansi materi gugatan yang kurang lebih sama, yaitu soal pengumuman hasil survei di hari tenang dan quick c
Jakarta (ANTARA News) - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menilai larangan mengumumkan hasil survei selama masa tenang sebagaimana disampaikan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizki dengan merujuk UU No. 8 Tahun 2012 berpotensi mengancam kebebasan akademik yang dijamin konstitusi.

"Begitu juga dengan pengumuman hasil hitung cepat (quick count) yang hanya boleh dilakukan dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian Barat," kata peneliti LSI Toto Izul Fatah, di Jakarta, Rabu.

Dalam keterangan persnya, Toto menjelaskan, sesuai pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak melakukan kegiatan ilmiah. Melaksanakan kegiatan survei itu merupakan bagian dari kebebasan ilmiah akademik. Begitu juga kegiatan mempublikasikan hasil survei dengan menggunakan segala jenis saluran informasi yang tersedia, termasuk media massa juga dijamin konstitusi.

"Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya mengabulkan gugatan uji materi (judicial riview) terhadap UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dengan subtansi materi gugatan yang kurang lebih sama, yaitu soal pengumuman hasil survei di hari tenang dan quick count. Gugatan tersebut dilakukan  Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) yang dimotori pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, Juni 2009 lalu," katanya.

Menurut Toto, jika merujuk pada ketentuan putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap itu, seharusnya KPU dan pembuat UU No 8 Tahun 2012 itu tak lagi memberlakukan ketentuan larangan tersebut.

"Sebab, kalau dipaksakan, gugatan serupa ke MK sangat mungkin dilakukan kembali karena subtansi materinya sama. Dan logikanya, MK pun akan membuat putusan yang sama sebagaimana diputuskan pada Juli 2009 lalu," ujarnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, MK saat itu menyatakan tidak sependapat dengan pandangan pembentuk UU yang diwakili pemerintah dan DPR bahwa hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) dapat menimbulkan kekisruhan dan memengaruhi masyarakat pada masa tenang menjelang Pemilu atau sebelum lampaunya satu hari setelah pemungutan.

Menurut MK, pandangan pembentuk UU tersebut sama sekali tidak faktual karena sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang maka pemunguman hasil survei tidak dapat dilarang.

"Atas putusan MK itu, saya tidak tahu, apakah KPU dan DPR lupa atau tidak membaca. Buat apa mereka membuat ketentuan UU yang jelas sudah dibatalkan MK, malah dihidupkan lagi. Inilah yang seharusnya dicermati KPU agar fungsi, peran dan seluruh produk ketentuannya tidak menambah masalah baru," katanya.

Toto menyatakan sepakat lembaga survei harus ditertibkan. Tapi, ketentuan UU No 8 Tahun 2012 yang dijadikan dasar KPU membuat peraturan tentang lembaga survei itu  berpotensi mematikan lembaga survei.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014