Kami mengulangi seruan untuk semua pihak agar mereka menahan diri dari kekerasan..."
Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan umum (Pemilu) Thailand yang akan digelar pada 2 Februari 2014 dipertanyakan berbagai kalangan, yakni akankah berjalan lancar atau justru sebaliknya?

Namun, hampir semua pihak berharap agar pemilu yang diwarnai gejolak politik yang dikobarkan para penentang pemerintah yang bernafsu "melumpuhkan Bangkok" dan menumbangkan Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra itu berjalan sukses.

Mahkamah Konstitusi (MK) Negeri Gajah Putih itu memberikan kewenangan bahwa pemilu yang dijadwalkan akan digelar 2 Februari 2014 dapat dijadwalkan ulang, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertemu dengan pemerintah sementara. Pada akhirnya disepakati pemilu akan dilangsungkan sesuai jadwal semula, meskipun terdapat ketidakpuasan dari pihak KPU.

Pemilu mendadak di negeri Siam itu diserukan setelah pemerintah PM Yingluck mendapat tekanan politik yang pada akhirnya dilanjuti dengan pembubaran parlemen.

Persoalan kemudian mencuat, ketika para pemrotes anti-pemerintah yang dipimpin mantan wakil PM Suthep Thaugsuban, yang juga sekjen Komite Reformasi Demokratik Rakyat (PDRC), menentang dengan desakan harus dibentuk Dewan Rakyat dulu,

Suthep pun berargumen Dewan Rakyat itu anggotanya terdiri atas berbagai unsur, namun tidak melalui pemilihan, yang tampaknya untuk menghindari kekhawatiran kemenangan dicapai pihak partai berkuasa.

Pemerintah sementara Thailand pada akhirnya memutuskan bahwa pemilu tetap akan diselenggarakan 2 Februari.

Keputusan pemerintah didasarkan pada fakta bahwa pemungutan suara awal yang digelar di 66 provinsi baru-baru ini berlangsung tanpa masalah, dan hanya 10 provinsi dan Metropolitan Bangkok saja yang bermasalah. Ini argumen PM Yingluck menetapkan pemilu tetap berlangsung 2 Februari, seusai jadwal awal.

Kalangan pemerintah merasa mampu untuk mengatasi semua persoalan menyangkut pemilu. Untuk menundanya tidak akan menjadi solusi, kata Wakil PM sementara Phongthep Thepkanjana setelah pertemuan antara Yingluck dan para anggota KPU.

Hanya saja, banyak kalangan tetap menilai bayangan pemilu berlangsung aman tertib dan damai tampaknya sulit ditangkap, karena sejak jauh hari para pemrotes pimpinan Suthep bertekad untuk mengganggu pelaksanaan pemungutan suara.

Ia bahkan meminta rakyat tidak memberikan suara mereka. Hal tersebut tentu saja dikhawatirkan lantaran dapat menggunakan cara-cara yang mengganggu keamanan.

Dalam aksi-aksi unjuk rasa sebelumnya, mereka juga menguasai banyak persimpangan utama kota, gedung-gedung pemerintah, dan bergerak setiap saat untuk mengajak rakyat "melumpuhkan Bangkok" dan "menumbangkan PM Yingluck Shinawatra."


Pengamanan Diperketat

Pemerintah Thailand dengan lembaga pertahanan keamanannya berusaha membendung gerakan itu melalui pernyataan akan memperketat pengamanan sekaligus mengerahkan 10.000 polisi di ibu kota untuk pemilu yang akan berlangsung pada Minggu (2/2).

Menteri Tenaga Kerja Chalerm Yoobamrung, yang bertanggung jawab atas keadaan darurat yang diberlakukan pekan lalu, menjelaskan bahwa sekira 10.000 polisi akan dikerahkan untuk menangani masalah keamanan di berbagai tempat pemungutan suara (TPS) di ibu kota Bangkok.

Departemen Investigasi Khusus (DSI) Thailand juga meminta Pengadilan Pidana untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi 16 pemimpin protes anti-pemerintah, yang dituduh melanggar dekrit keadaan darurat, dengan Suthep, sang pemimpin protes berada di urutan teratas.

Pusat Penjaga Ketentraman dan Ketertiban (CMPO) juga telah memperingatkan 30 perusahaan swasta yang diketahui terlibat memberikan dukungan kepada gerakan untuk berhenti mendukung protes PDRC.

Sekretaris CMPO mengatakan, perusahaan-perusahaan yang diketahui membantu gerakan anti-pemerintah akan dikenai pasal pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dekrit darurat dan Undang-Undang Anti-Pencucian Uang dengan hanya untuk menyediakan kendaraan dan dukungan keuangan bagi para demonstran.

Sementara itu, pihak Angkatan Bersenjata Thailand menyatakan bahwa posisi mereka semakin tidak nyaman dengan iklim politik dan kekerasan, yang meningkat dalam pemilihan umum kali ini.

Pihak militer meminta semua unsur untuk menghindari kekerasan pada pemilu 2 Februari 2014.

Beberapa saat sebelumnya, militer memang menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan kudeta dalam menghadapi tantangan politik saat ini.

Tetapi, pihak militer Thailand agaknya mengajukan usul kepada pemerintah yang intinya semua persoalan politik diselesaikan melalui proses demokrasi.

Militer Thailand berulang kali menyatakan keyakinan bahwa pemilu adalah alat untuk mencapai tujuan demokrasi, tetapi tidak harus menciptakan perpecahan. Pihak militer juga percaya bahwa pintu dialog tidak benar-benar tertutup.

Panglima militer Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha berjanji untuk bekerja erat dengan CMPO yang dikelola pemerintah, untuk lebih memperkuat keamanan setelah kematian seorang pemimpin inti protes pada Minggu.

Juru bicara Angkatan Bersenjata Winthai Suwari mengatakan bahwa tentara menyatakan keprihatinan atas bentrokan antara para demonstran dan pendukung propemerintah selama pemungutan suara awal pada Ahad, yang menyebabkan kematian Suthin Tharathin, seorang pemimpin inti protes, dan mencederai 13 orang lainnya.

Suthin, pemimpin Tentara Rakyat untuk Menggulingkan Rezim Thaksin, ditembak kepalanya di luar TPS di kompleks Kuil Wat Sri-iam di ibu kota Bangkok pada Minggu lalu.

Menurut Pusat Pelayanan Medis Darurat Erawan, Pemerintah Metropolitan Bangkok, bentrokan antara para pendukung propemerintah dan pengunjuk rasa sejak 30 November 2013 telah menewaskan sedikitnya sepuluh orang dan 571 lainnya terluka.

Kecemasan Sekutu

Sementara itu Amerika Serikat (AS), sekutu Bangkok, menyatakan bahwa merasa "sangat terganggu" oleh upaya para pemrotes Thailand untuk merecoki pemungutan suara, dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan.

Seruan AS berkaitan dengan rencana pemrotes bahwa dari 50 TPS di Bangkok hanya tujuh tetap terbuka sampai pada pukul 11.00 waktu setempat, sementara di 15 provinsi selatan, sebagian besar orang tidak dapat memberikan suara karena upaya demonstran antipemerintah untuk memblokir dan mengganggu dalam pelaksanaan pemungutan suara awal pekan lalu.

"Kami mengulangi seruan untuk semua pihak agar mereka menahan diri dari kekerasan, dan berkomitmen untuk dialog tulus guna menyelesaikan perbedaan politik secara damai dan demokratis," demikian keterangan resmi Kemlu AS.

Selain itu, Pemerintah Filipina melarang penyebaran baru pekerja yang dipekerjakan di luar negeri Filipina (OFW) ke daerah-daerah bermasalah di Thailand.

OFW baru tidak akan diizinkan untuk bekerja ke Provinsi-provinsi Bangkok, Nonthaburi, Kabupaten Lad Lum Kaew di Provinsi Pathumthani dan Kabupaten Bang Phli di Provinsi Samutprakan.

Dari Indonesia, Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) meminta Kementerian Luar Negeri RI untuk berdiplomasi aktif dalam mengatasi krisis Thailand terkait aksi demonstrasi kelompok oposisi di negara itu.

Seyogianya, Kemlu RI melakukan diplomasi lebih aktif kepada Pemerintah Thailand melalui pendekatan dialogis, sebagai salah satu negara yang berpengaruh di kawasan, dalam penyelesaian konflik dan menemukan solusi yang tepat yang berpegang kepada nilai demokrasi dan HAM, kata Koordinator Kontras Haris Azhar.

Organisasi ini selaku organisasi HAM di Indonesia juga mendesak pemerintah Thailand untuk tidak menggunakan pendekatan represif terhadap demonstrasi yang dilakukan kelompok oposisi. (*)

Oleh Askan Krisna
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014