London (ANTARA News) - Keputusan pemerintah untuk melarang ekspor mineral mentah dan mewajibkan pengusaha tambang membangun smelter patut mendapatkan apresiasi.

Hal itu diungkapkan pemerhati ekonomi dan industri di Paris, Dr. Fachru Nofrian, sehubungan dengan keputusan pemerintah melarang ekspor mineral mentah sesuai dengan UU Mineral dan Batubara mulai Januari 2014.

Kepada ANTARA di London, Fachru mengatakah bahwa kebijakan tersebut pada dasarnya dapat menciptakan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia, namun tetap penting dicermati bagaimana dampaknya terhadap proses industrialisasi di Indonesia.

Doktor Ilmu Ekonomi dari Universitas Paris 1 Panth on-Sorbonne ini mengungkapkan bahwa perlu dilihat apakah kebijakan ini merupakan sebuah politik industri atau bukan, apakah hal tersebut mengedepankan aspek penciptaan nilai tambah berorientasi pada industrisalisasi.

"Jika Indonesia berhasil menciptakan nilai tambah maka secara internasional Indonesia menjadi lebih berperan dan mungkin dapat lebih diperhitungkan, tetapi jika penciptaan nilai tambah itu tidak membuahkan proses industrialisasi maka sama saja dengan kebijakan yang pernah diambil sebelumnya," tegasnya.

Menurutnya, proses industrialisasi merupakan proses yang riil yang melibatkan banyak variabel bukan sekadar transformasi masyarakat, pembangunan pabrik atau produktivitas tenaga kerja.

Berdasarkan penelitian, produktivitas tenaga kerja Indonesia semakin meningkat dari 1971 hingga 2005, tetapi tetap saja Indonesia belum mengalami proses industrialisasi,ungkap Staf pengajar di Universitas Indonesia ini.

Ia menekankan bahwa Indonesia telah melalui berbagai periode pembangunan. Pada jaman Bung Karno, politik industri lebih kuat sehingga menciptakan proses industrialisasi mulai dari pembangunan pabrik, reaktor nuklir, pesawat dengan kandungan lokal 100 persen hingga pembangunan sektor secara simultan.

Pada jaman Presiden Soeharto, melalui Repelita mencoba menggabungkan politik industri dan politik pertumbuhan secara bertahap tetapi hasil akhirnya tetap melahirkan kesenjangan antara rencana pembangunan dan realisasi,"paparnya.

Setelah reformasi, Indonesia sepertinya tidak memiliki lagi politik industri, yang ada hanyalah politik pertumbuhan atau dengan kata lain politik industri sudah direduksi kepada pertumbuhan sehingga akibatnya Indonesia kebanjiran barang impor, ujar jebolan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti dan S1 Fakultas Filsafat Universitas Indonesia.

Salah satu isu penting dalam proses industrialisasi adalah kesederhanaan bentuk produksi, yang menurutnya, itu meliputi kesederhanaan hubungan antara industri primer, sekunder, dan tertier.

"Saat ini, bentuk produksi sektoral masih terlalu kompleks sehingga dari tahun 1970 hingga sekarang, tidak ada konektivitas antara sektor mineral dan manufaktur atau primer dan sekunder," ujar Fachru.

Dulu tahun 1971, hanya ada konektivitas antara sektor bijih timah dan sektor metal dasar tetapi itu pun kemudian menghilang. Memang industrinya ada, tetapi konektivitasnya tidak ada sehingga apabila orientasi pemerintah hanya politik pertumbuhan, maka besar kemungkinan konektivitas tidak akan terbentuk lagi.

Dengan demikian, lanjut Fachru, jika ditanya apakah Indonesia memiliki pilihan untuk melakukan politik industri atau politik pertumbuhan ? Sebagai Negara yang terbesar di ASEAN, jelas jawabannya bukan tidak ada pilihan.

Pelajaran dari negara lain seperti Cina dan India menunjukkan bahwa meskipun sekarang ini rezim internasional sangat dominan, tetapi pilihan-pilihan yang menuju kepada proses industrisalisasi masih ada, tinggal masalahnya adalah bagaimana strategi penerapannya, demikian Fachru.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014