Beijing (ANTARA) - Sekitar lima puluh orang berpakaian prajurit Dinasti Qing berbaris rapi di sisi kanan dan kiri delapan orang lainnya, yang membawa sang kaisar dalam tandu kerajaan.

Mereka berjalan perlahan, namun pasti, penuh hikmat menuju altar persembahan di Taman Ditan, atau yang dikenal pula dengan sebutan Kuil Bumi di Beijing.

Sesampainya di depan altar Fangzetan di tengah kuil, sang kaisar turun dari tandu kerajaan berjalan menaiki tangga menuju puncak altar, lalu membungkuk hormat dihadapan sejumlah persembahan seraya mengucap puja dan puji kepada Sang Pencipta.

Kemudian sang kaisar pun bersujud memohon doa kepada sang penguasa alam semesta agar memberikan rahmatnya untuk negeri yang semakin kuat, panen yang berhasil dan rakyat yang makmur.

Altar Fangzetan menjadi tempat ibadah dan penyerahan persembahan yang dibuat para keluarga kaisar semasa Dinasti Ming dan Dinasti Qing.

Warna kuning yang mendominasi lantai altar diibaratkan sebagai bumi tempat manusia berpijak.

Agak ke bawah terdapat "selokan" air yang mengelilingi altar, yang disimbolkan sebagai sungai.

Usai berdoa khusuk untuk negeri dan rakyatnya, sang kaisar pun perlahan menuruni tangga altar, kembali ke tandu serta diiringi para pengawalnya kembali ke istana.

Itulah sekelumit prosesi historis, sarat makna yang ditampilkan rutin manajemen Kuil Bumi, saat pembukaan Festival Musim Semi di kuil tersebut sejak 1985, menandai datangnya Tahun Baru China sekaligus datangnya musim semi.

Masyarakat dari Beijing, luar Beijing, bahkan turis jauh dari Eropa, Amerika, Afrika tumpah ruah di Taman Ditan yang merupakan salah satu situs bersejarah terbesar kedua di ibukota Republik Rakyat China setelah Kuil Surga atau Temple of Heaven.

Mereka antusias, berdesakan, menyaksikan dan mengabadikan prosesi persembahan para kaisar semasa Dinasti Ming dan Qing di Kuil Bumi, yang terletak di Distrik Dongcheng tersebut.

Persembahan kepada sang penguasa bumi atau alam semesta, rutin dilakukan 14 kekaisaran selama 381 tahun hingga masa kekuasaan Dinasti Qing berakhir pada 1911.

Sebagai tempat persembahan para kaisar Dinasti Ming dan Qing, Kuil Bumi juga dijuluki sebagai altar Fangzetan.

Dibangun pada 1530 pada tahun kesembilan kekaisaran Jiajing semasa Dinasti Ming, dan makin diperluas lagi pada masa Dinasti Qing hingga menjadi Kuil Bumi.

Taman Ditan memiliki luas 430 ribu meter persegi, 374 ribu merupakan kawasan lindung, dan 82 ribu merupakan padang rumbut.

Taman Ditan memiliki 36 ribu jenis pohon, dimana 174 di antaranya telah berusia 200 tahun.

Tiga pohon cemara di luar kompleks altar, menjadi penanda khusus. Tiga cemara itu pun dijuluki tiga jenderal pengawal altar, masing-masing memiliki ketebalan 4,8 meter, 5,15 meter dan 3,16 meter.

Melestarikan Sejarah
Festival musim semi, yang digelar di beberapa kuil termasuk di Kuil Bumi tidak sekadar perayaan menyambut tahun baru, tetapi juga melestarikan mengingatkan sejarah tentang bangsa ini, kata Li Wei seorang panitia.

Liu Ying (60) dari provinsi Jiangsu mengatakan saya datang ke Beijing, selain untuk menikmati liburan tahun baru juga ingin mengenal kembali sejarah panjang China.

Kuil Bumi adalah salah satu simbol kejayaan Dinasti Qing yang berkuasa selama periode 1644 hingga 1911.

Qing merupakan dinasti terakhir dalam sejarah China, dengan sepuluh kaisar berturut-turut naik tahta di Beijing dengan masa kekuasaan 268 tahun.

Pada masa Dinasti Qing China mengalami beragam kemajuan baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, maupun iptek terutama dalam bidang arsitektur.

Pada masa dinasti itu pula, wilayah China semakin luas dan semakin bersatu.

Dinasti Ming yang jatuh oleh pemberontak pimpinan Li Zicheng, kemudian memindahkan Shenjing (sekarang Shenyang) di Timur Laut China ke Beijing.

Hal itu dimanfaatkan Dinasti Qing untuk terus melakukan penindasan terhadap sisa-sisa kekuatan Dinasti Ming dan para pemberontak hingga mampu menyatukan seluruh wilayah China, mulai dari Taiwan dar tangan Belanda, Xinjiang, hingga sejumlah wilayah perbatasan dengan Rusia.

Setelah masa pertengahan mulai muncul perpecahan di tengah masyarakat dan makin meruncing hingga menimbulkan pemberontakan antara lain pemberontakan Balianjiao yang mengakhiri masa keemasan Dinasti Qing.

Akibat perang Opium 1840, pemerintahan Dinasti Qing terpaksa menyepakati sejumlah perjanjian dengan para agresor yang makin melemahkannya, dan China umumnya.

Hingga pada 1911 Dinasti Qing jatuh oleh Revolusi Xinhai.

Maka berakhirlah masa kekaisaran feodal yang telah berkuasa hingga 2.000 tahun lebih dan China pun mulai beranjak ke masa pemerintahan yang baru.

Festival musim semi pada setiap perayaan Tahun Baru China, tidak sekadar perayaan.

China berhasil mengemas gemerlap dan gegap gempita Tahun Baru tidak sekadar pesta, tetapi juga wahana untuk tetap melestarikan sejarah, mengajar perjalanan bangsa China hingga kini kepada penerusnya.

China tahu betul makna slogan "bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarahnya".

Seperti pula yang disampaikan Soekarno untuk jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.


Oleh Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014