Paris (ANTARA News) - Presiden Prancis Francois Hollande, Kamis, menyeru PBB untuk mempercepat pengerahan pasukan penjaga perdamaian ke Republik Afrika Tengah guna membantu memadamkan konflik sektarian berdarah.

Dalam pembicaraan telepon dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki -moon, Hollande mengatakan pasukan PBB diperlukan untuk membantu memulihkan perdamaian dan menopang pemerintahan presiden interim baru Catherine Samba Panza.

"Dewan Keamanan PBB menetapkan mandat yang jelas (bagi pasukan penjaga perdamaian) yang harus cepat dan tegas dilaksanakan. Pertanyaannya terutama terkait upaya mempercepat persiapan untuk operasi penjaga perdamaian, dalam kemitraan yang erat dengan Uni Afrika," kata sebuah pernyataan dari kantor presiden Prancis.

Pada saat yang sama, Prancis bergegas untuk merekrut ratusan tentara untuk misi militer Uni Eropa di Republik Afrika Tengah, seperti dilaporkan AFP.

"Kami bekerja dengan segera," kata Jenderal Philippe Ponties di Brussels, Rabu, yang menjabat sebagai kepala misi pasukan itu awal pekan ini.

Tujuannya adalah untuk mengerahkan tentara pertama "secepat mungkin" di ibu kota Bangui, katanya.

Prancis saat ini memiliki sekitar 1.600 tentara di negara itu dan pasukan Uni Afrika MISCA memiliki lebih dari 5.000 prajurit. Tapi mereka tidak mampu membendung pandemi penjarahan dan siklus serangan balas dendam antara pejuang Muslim dan Kristen.

Republik Afrika Tengah itu jatuh ke dalam kekacauan setelah kudeta pada Maret 2013 yang dipimpin oleh gerakan Seleka. Setelah merebut kekuasaan, kekerasan sektarian terjadi antara mantan gerilyawan yang sebagian besar Muslim dan mayoritas milisi Kristen yang dikenal sebagai anti - Balaka ("anti - parang" dalam bahasa Sango lokal).

Pada Kamis pemimpin milisi memperingatkan presiden baru untuk tidak mencoba melakukan janjinya setelah presiden bersumpah untuk menindak anti - Balaka.

"Menyatakan perang terhadap anti - Balaka sama dengan menyatakan perang terhadap penduduk Afrika Tengah," kata Richard Bejouane kepada ratusan milisi yang berkumpul di Bangui. Dia mengklaim kelompoknya beranggotakan 52 ribu orang, termasuk 12 ribu di  ibu kota.

Milisi anti - Balaka awalnya merupakan kelompok pertahanan diri yang dibentuk sebagai tanggapan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh gerilyawan liar bekas kelompok Seleka, yang sekarang mundur setelah pengerahan pasukan Prancis dua bulan lalu.

Sebagian besar aksi kekerasan yang sedang berlangsung saat ini dipersalahkan pada kelompok anti - Balaka.

Samba Panza, seorang Kristen yang mengambil alih sebagai presiden sementara bulan lalu dari mantan pemimpin Seleka Michel Djotodia, Rabu, mengatakan pemerintahnya "akan berperang melawan anti - Balaka."

"Anti - Balaka telah kehilangan misi mereka. Mereka sekarang orang-orang yang membunuh, yang menjarah, yang melakukan kekerasan," katanya.

Di jalan-jalan di ibukota, ia tampaknya memiliki dukungan dari warga.

"Presiden benar dengan menyatakan perang terhadap penjahat tersebut. Setiap orang berharap untuk perdamaian setelah apa yang dilalui warga akibat aksi mantan Seleka," kata Arthur Bissiko, petugas kesehatan di Bangui.

Amnesti Internasional pekan ini melaporkan bahwa kekerasan anti - Balaka telah memicu "eksodus warga Muslim dalam skala sangat besar".

"Milisi anti - Balaka semakin terorganisir dan menggunakan bahasa yang menunjukkan niat mereka adalah untuk menghilangkan penduduk Muslim" dari negara itu, kata Human Rights Watch pada hari Rabu.

(G003)


Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014