Indonesia dan Australia menjadi negara transit dan negara tujuan sementara para migran adalah penduduk negara lain yang berusaha mencari kehidupan yang lebih baik ke negara lain.
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Australia perlu lebih memperhatikan penanganan masalah penyelundupan manusia yang melibatkan kedua negara, serta meningkatkan hubungan yang lebih luas.

Demikian isi simposium "Penyelundupan Manusia: Mencari Jalan Keluar Yang Lebih Luas Untuk Revitalisasi Hubungan Indonesia-Australia" yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Advokasi Strategi (Center for Policy Studies and Strategic Advocation - CPSSA), di Jakarta, Rabu.

"Australia tidak bisa menyalahkan Indonesia semata-mata karena Indonesia juga menjadi korban sebagai negara transit para migran dari negara-negara lain yang hendak menuju Australia," kata mantan Menteri Luar Negeri, DR Hassan Wirajuda, yang menjadi salah satu panelis.

Hassan mengatakan, isu penyelundupan manusia banyak diributkan oleh Australia karena diangkat dalam materi kampanye pemilihan umum di negara tersebut.

Sementara itu, Prof. Alan Dupont, ahli keamanan internasional pada Universitas New South Wales, juga menegaskan bahwa semua negara menjadi korban.

"Indonesia dan Australia menjadi negara transit dan negara tujuan sementara para migran adalah penduduk negara lain yang berusaha mencari kehidupan yang lebih baik ke negara lain," kata Alan.

Pada sesi pagi diskusi tersebut membahas penyelundupan manusia dari sudut pandang Indonesia dan Australia, menghadirkan panelis Dr. Hassan Wirajuda, Prof. Alan Dupont, Endi Bayuni, redaktur senior harian The Jakarta Post, Paris Aristotle, ketua Yayasan Rumah Victoria bagi Penyintas Penyiksaan dengan moderator Desi Anwar.

Sementara panelis lain, Endi Bayuni mengatakan, Indonesia sebagai negara tempat persinggahan para pencari suaka dan pengungsi itu tidak menganggap penting masalah penyelundupan manusia tersebut.

"Isu ini digolongkan Indonesia dalam masalah tragedi kemanusiaan. Sebaliknya Australia memanfaatkannya sebagai umpan kampanye pemilu," kata Endi.

Sementara Paris Aristotle, menyampaikan sisi gelap para pencari suaka yang mendapat siksaan dan bahwa praktik penyelundupan manusia juga menyangkut aspek ekonomi, korupsi dan uang.

"Perlu adanya kerjasama banyak negara untuk menstabilkan populasi dan membangun sistem serta aturan regional, guna mengurangi pencari suaka ekonomi yang terus bertambah," jelas Paris.

Pada sesi kedua diskusi dengan pokok bahasan "Revitalisasi Hubungan Indonesia-Australia : merumuskan kerjasama jangka pendek dan panjang" menghadirkan panelis Dr. Edy Prastyono, Greg Sheridan, redaktur internasional harian The Australian, mantan duta besar Australia untuk Indonesia, Richard Smith dan Letjen Purnawirawan Hotmangaradja Panjaitan

Menurut Hotmangaradja Panjaitan, Indonesia tidak akan mampu mencegah masuknya para pencari suaka yang menjadikan negara ini sebagai tempat singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia, karena wilayah Indonesa yang sangat luas, sistem hukum dan juga tidak bisa melakukan operasi militer besar seperti Australia.

Sebenarnya kedua negara sudah melakukan proses perundingan dan tahapan untuk menangani masalah ini, tetapi terganggu dengan munculnya pembocoran rahasia intelijen oleh Edward Snowden yang mengganggu hubungan politik Indonesia-Australia.

Tindakan yang dilakukan saat ini sifatnya baru penyelesaian jangka pendek, sementara kedua negara memerlukan formula untuk penyelesaian jangka panjang mengingat kasus penyelundupan manusia diperkirakan masih akan terjadi.

Sementara itu mantan dubes Australia untuk Indonesia, Richard Smith mengakui, bahwa penanganan masalah ini memang terkait dengan situasi politik di Australia yang menghadapi persaingan ketat antar politisi, dan ada prinsip hukum yang berbeda pada kedua negara.

Para panelis mengemukakan bahwa masalah pencari suaka ini hanya satu isu kecil dibanding kepentingan besar lain dalam hubungan RI-Australia misalnya di bidang politik dan pertahanan, ekonomi, industri, pendidikan serta hubungan antarmanusia.

Panelis menyetujui upaya untuk memulihkan hubungan kedua negara demi kepentingan yang lebih luas.

Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo sebagai ketua yayasam CPSSA menutup acara tersebut dengan menyatakan bahwa menjadi saling memahami dan saling percaya merupakan kunci penting dalam usaha meningkatkan hubungan bilateral RI-Indonesia.

CPSSA memandang perlu mengangkat masalah pencari suaka yang sudah mempengaruhi hubungan kedua negara dan berharap melalui diskusi tersebut dapat ikut membangun kerjasama yang lebih baik

(M007)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014