Pontianak (ANTARA News) - Organisasi konservasi alam, World Wide Fund (WWF), menerbitkan laporan tentang kebisingan di laut yang berpengaruh buruk terhadap paus dan mamalia laut.

Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia, Dwi Suprapti, ketika dihubungi di Pontianak Rabu mengatakan, hasil penelitian tersebut menunjukkan berbagai masalah yang dialami paus dan mamalia laut yang hidup di perairan yang bising.

"Diantaranya kesulitan menemukan pasangan dan mencari makan. Laut yang bising juga berpotensi mengganggu paus dari habitat utama mereka," kata dia.

Mengutip pernyataan Aimee Leslie, Global Cetacean and Marine Turtle Manager untuk WWF, bahwa telah ditemukan bukti peningkatan kebisingan di seluruh perairan di dunia.

Kemudian, lalu lintas kapal berukuran besar, serta gelombang sonar yang dimanfaatkan untuk eksplorasi minyak lepas pantai dan pelatihan militer menambah kebisingan pada ekosistem laut.

Dwi Suprapti melanjutkan, bagi mamalia laut, mendengar sama pentingnya dengan melihat bagi manusia. "Mamalia laut menggunakan berbagai jenis suara untuk komunikasi, dan biosonar untuk mencari makan dan mendapatkan petunjuk arah. Suara-suara asing yang ditimbulkan dari kegiatan manusia berpotensi besar mengganggu komunikasi paus dan lumba-lumba dalam jangka panjang maupun jangka pendek," katanya.

Selain menyamarkan suara-suara yang diproduksi mamalia laut, kebisingan di laut juga mengubah perilaku mereka dan membuatnya menjauh dari habitat asalnya.

Ia mencontohkan kegiatan eksplorasi dan pengeboran industri minyak dan gas di laut lepas, terutama yang menggunakan alat echo-sounder, serta pelayaran komersial, memproduksi suara di kisaran pendengaran paus, lumba-lumba, dan mamalia lautnya, yaitu 10 Hz - 200 kHz.

Kisaran suara tersebut tumpang tindih dengan kisaran suara mamalia laut sehingga dapat membingungkan atau bahkan berakibat fatal bagi hewan-hewan tersebut.

Paus biru (Balaenoptera musculus), mamalia terbesar di dunia, memproduksi suara dengan frekuensi sekitar 20 Hz. Manusia pada umumnya dapat mendengar percakapan satu sama lain pada kisaran 100 - 1000 Hz.

Dwi Suprapti melanjutkan, hampir seluruh wilayah laut Indonesia merupakan habitat penting atau jalur migrasi mamalia laut. Sekitar 18 spesies paus, serta 12 spesies lumba-lumba dan porpois ditemukan bermukim atau melintas di laut Indonesia, khususnya di kawasan Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle (Mustika et al., 2009).

Wilayah ini juga merupakan salah satu jalur perairan terpadat di dunia, baik oleh aktivitas perikanan artisanal dan perikanan skala besar, lalu lintas perdagangan dan pengiriman barang, pariwisata dan aktivitas eksplorasi (khususnya eksploitasi mineral dan gas).

"Paus, lumba-lumba, juga ikan terbesar yaitu hiu paus, sering ditemukan terdampar di pantai-pantai di Indonesia," kata Dwi Suprapti.

Sejumlah ilmuwan dan pegiat lingkungan sering menanggapi kejadian terdampar ini dengan upaya penyelamatan hewan tersebut namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebabnya.

"Kalau tingginya polusi suara didalam air sebagai penyebabnya, maka pemerintah perlu mengubah beberapa regulasi terkait lintasan kapal, termasuk penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), penataan wilayah eksplorasi dan aktivitas perikanan," ujar dia.

Ia menjelaskan, ada beberapa metode yang direkomendasikan untuk menurunkan dampak kebisingan pada mamalia laut. Antara lain, tindakan langsung untuk segera mengurangi sumber kebisingan di laut, penelitian lebih lanjut tentang teknologi mengurangi kebisingan dari eksplorasi dan pengeboran industri minyak di laut lepas serta pelayaran komersial.

Selain itu, membatasi perairan-perairan habitat paus dari kegiatan yang menimbulkan polusi suara (khususnya selama periode-periode sensitif bagi paus seperti kelahiran anak), implementasi dan pengaturan yang cepat dan efektif berdasarkan panduan dari International Maritime Organization (IMO) dalam menurunkan kebisingan di laut dari pelayaran kapal.

Paus dan lumba-lumba juga terancam mati sebagai tangkapan sampingan (bycatch) dari praktik penangkapan ikan. "Sangat diperlukan kerja sama yang penting dalam menangani dampak dari kegiatan antropogenik pada mamalia laut," kata Dwi Suprapti.

Hal tersebut, lanjut dia, tidak hanya untuk mencegah penurunan populasi satwa-satwa tersebut, tetapi juga memberikan informasi kepada publik terkait pengelolaan kegiatan manusia dan konsekuensinya.

Pada Jumat (14/2), WWF menerbitkan sebuah laporan baru dalam Bahasa Inggris tentang kebisingan di laut yang berpengaruh terhadap paus dan mamalia laut.

Laporan berjudul "Reducing Impacts of Noise from Human Activities on Cetaceans: Knowledge Gap Analysis and Recommendations" itu menjelaskan berbagai masalah yang dialami paus dan mamalia laut yang hidup di perairan yang bising.

Pewarta: Teguh Imam Wibowo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014