Ratusan pesawat berbadan lebar mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali setiap harinya membawa puluhan ribu penumpang untuk berliburan di daerah tujuan wisata Pulau Dewata.

Kondisi itu jelas membawa dampak positif terhadap pembangunan dan ekonomi Bali, sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat setempat, namun pada sisi lain menimbulkan beban lingkungan semakin berat di Bali, akibat tidak terkendalinya pembangunan sarana dan akomodasi wisata.

Hal itu sebagai dampak dari makin pesatnya perkembangan pariwisata di Pulau Dewata tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Neger (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.

Bali yang menarik perhatian wisatawan menyebabkan padatnya pendatang seiring dengan berbagai ajang pertemuan tingkat nasional dan internasional yang digelar di Pulau Dewata itu.

Masalahnya sekarang, bagaimana dan siapa yang paling berkontribusi meneruskan cita-cita dan spirit perilaku bersahabat dengan alam seperti yang diwariskan para leluhur orang Bali.

Dulu, perilaku leluhur orang Bali dalam konteks kearifan lokal tanpa kehilangan jati diri selalu mempertimbangkan dan aturan yang bersifat religius dalam tindak-tanduknya sehari-hari, baik terhadap lingkungan alam, sesama, maupun sikap mereka meyakini adanya kekuatan Tuhan.

Bali mengembangkan pariwisata budaya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Dalam peraturan dan Undang-Undang tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya memanfaatkan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Potensi dasar yang dominan itu di dalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang.

Demikian juga Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menyoroti kehancuran organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Pulau Dewata.

Kehancuran subak akibat alih fungsi lahan maupun tersumbatnya air irigasi untuk kepentingan di luar sektor pertanian sejak lama telah menjadi wacana, namun tidak pernah mendapat penanganan secara tuntas.

Jika subak hancur, maka kebudayaan yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata juga akan ikut hancur, sekaligus semua sektor ekonomi akan hancur karena satu sama lain saling terkait.

Semua sektor ekonomi dilandasi oleh kebudayaan setempat, khususnya sektor pariwisata, namun kenyataannya justru sektor pariwisatalah yang menghancurkan sawah, pertanian dan subak.

Sektor pariwisata telah menjadi kanibalis bagi sektor pertanian, sebagai akibat sektor pariwisata dikembangkan di luar batas-batas kemampuan Pulau Bali untuk menampungnya.

Lebihi batas ideal


Windia mengingatkan pejabat yang mengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan hal itu, karena pada tahun 1985 telah disepakti, berdasarkan penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24.000 kamar hotel bertaraf internasional.

Namun kenyataannya sekarang, jumlah kamar hotel internasional di Bali telah mencapai 80.000 kamar, tiga kali lipat dari ketentuan batas ideal.

Kenapa pemerintah belum juga melakukan moratorium pembangunan hotel. Tentu saja karena alasan ekonomi, pajak asli daerah (PAD), dan besaran APBD.

Kedua komponen itu sangat sering menjadi kebanggaan para pejabat, namun tidak dirasakan yang akhirnya menyebabkan runtuhnya kebudayaan Bali, padahal Kebudayaan Bali itu justru merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan.

Deputi Direktur Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III, Suarpika Bimantoro dalam laporan kajian ekonomi regional Bali menjelaskan, penerimaan visa kunjungan (Visa on Arrival/VoA) dari wisatawan mancanegara yang ke Bali selama 2013 hingga September mencapai 36,6 juta dolar AS atau rata-rata 4,1 juta dolar per bulan.

Penerimaan sektor pariwisata itu selama triwulan III-2013 menghasilkan yang tertinggi yakni 18,7 juta dolar AS. Penghasilan yang dipungut dari turis asing yang baru menginjakkan kakinya di pintu masuk Bali itu naik 15,14 persen dari periode sama sebelumnya hanya 14,97 juta dolar.

Penerimaan visa kunjungan dari orang asing yang berpelesiran ke Pulau Dewata itu cukup bagus jika dibandingkan kondisi ekonomi internasional yang ada.

Penerimaan dari sektor pariwisata sebanyak 18,7 juta dolar itu pada periode triwulan III-2013 dibayarkan oleh sekitar dua juta orang yang wajib membayar VoA saat menginjakkan kakinya di Bali, sebab tidak semua wisatawan mancanegara yang datang ke daerah ini membayar VOA.

Sedangkan pada triwulan II-2013 penerimaan hanya 14,97 juta dolar yang diterima dari 720.114 orang, ini artinya penerimaan VOA maupun jumlah pelancong yang datang ke Bali bertambah banyak, sejalan dengan pertumbuhan pariwisata dunia.

Besarnya penerimaan dari turis asing yang melakukan perjalanan wisata ke Bali, tentu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selama ini masih mengandalkan dari sektor pariwisata, industri kecil dan pertanian.

Netralisir pencemaran


Dr Ketut Sumadi menjelaskan umat Hindu dalam menetralisir pencemaran (keletehan) dari ratusan pesawat udara yang melintasi Bali setiap harinya secara rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" (caru).

Pesawat terbang yang melintas di udara Pulau Dewata melewati pura dan tempat-tempat suci lainnya dalam keyakinan orang Bali dirasakan menimbulkan keletehan (pencemaran) terhadap tempat suci.

Untuk menetralisir dampak pencemaran itulah, orang Bali rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" sebagai tahap awal dalam setiap prosesi ritual piodalan (perayaan hari suci keagamaan) di lingkungan rumah tangga, pura (tempat suci) setiap enam bulan sekali dan di tempat-tempat tertentu secara berkala.

Menurut Sumadi semua ritual itu memerlukan biaya yang besar dan sekarang menjadi beban berat hidup orang Bali di tengah berkembangnya pariwisata dan meningkatnya volume lalu-lintas penerbangan di atas Pulau Bali.

Pemerintah, khususnya pengelola Bandara Ngurah Rai semestinya tidak ragu-ragu meningkatkan kontribusinya kepada penduduk lokal Bali yang untuk melaksanakan aktivitas religius demi menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Pulau Dewata.

Pendapatan dari bandara itu hendaknya sebagian bisa disisihkan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kearifan lokal Bali, termasuk mendukung kegiatan-kegiatan ritual.

Meskipun hingga kini tidak ada kontribusi dari Bandara Ngurah Rai maupun pihak hotel dan pengelola fasilitas pariwisata lainnya kepada penduduk lokal Bali, berkat berkembangnya pariwisata, aktivitas religius di Bali tampak semakin meriah.

Warga desa adat semakin sadar dan bergairah mengikuti setiap prosesi ritual, meski untuk itu banyak diantara mereka yang rela menjual tanah warisan leluhurnya.

Sikap kebersamaan dan penuh kegembiraan itulah merupakan sikap dewasa kaum beragama dalam iman dan amalnya, yang akhirnya berkembang menjadi masyarakat religius.

Kemeriahan dan kegairahan tersebut memang bukan merupakan hal yang bersifat hura-hura, namun sebagai wujud rasa bhakti (sujud dengan hati suci) krama desa kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat setempat mempunyai keyakinan bahwa jika bhakti melaksanakan yadnya, maka Tuhan berkenan melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui industri pariwisata.

Dari persepsi "bhakti dan sweca" itulah tumbuh kesadaran krama desa adat dan pelaku industri pariwisata, khususnya di Kuta, untuk terus menjaga hubungan harmonis antara kegiatan religius dengan aktivitas kerja sehari-hari yang secara langsung atau tidak langsung saling memberi kontribusi.

Sikap religius itu juga terlihat dari perlakuan krama desa adat di Bali yang sangat menyayangi para wisatawan, terutama wisatawan asing yang sedang berwisata di Pulau Dewata.

Wisatawan diberi kebebasan untuk berinteraksi dan menyaksikan praktik-praktik kearifan lokal yang dilaksanakan oleh Desa Adat di Bali, tutur Ketut Sumadi.

Pewarta: I Ketut Sutika
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014