Jakarta (ANTARA News ) - Dari seluruh obat-obatan yang beredar di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sekitar 30 persennya palsu atau di bawah standar.

"Obat-obatan seperti obat malaria dan diabetes, menjadi beberapa macam obat yang dipalsukan," ujar Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, Widyaretna Buenastuti, dalam diskusi "Bahaya Obat dan Kosmetik Palsu Bagi Indonesia" di Jakarta, Rabu.

Selain itu,lanjut ia, jenis obat lain seperti obat untuk disfungsi ereksi, pain killer dan antibiotik juga seringkali dipalsukan.

Ia memaparkan, berdasarkan data Riset Victory Project terhadap satu jenis obat, antara lain Sildenafil, yang beredar di empat wilayah yang meliputi Jabodetabek, Bandung, Malang, dan Medan, diketahui tingkat pemalsuan mencapai 45 persen dari 518 tablet yang ada di 157 gerai.

Ke-157 gerai yang terlibat dalam survei ini merupakan apotek (umum, jaringan dan rumah sakit), toko obat, penjual di pinggir jalan (khususnya di Jakarta dan Surabaya) serta tiga situs yang menawarkan pembelian secara online.

Pada kesempatan yang sama, Ketua BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Roy Sparringa mengatakan bahwa pemalsuan produk termasuk obat merupakan masalah yang sangat merugikan.

"Buat kami jelas merugikan. Salah satunya, soal pajak. Ia (orang yang memalsukan obat dan kosmetik) tentu tidak bayar pajak," katanya.

Menurut Roy, hal ini juga terkait risiko jika publik mengonsumsi produk palsu sehingga BPOM mengagendakan untuk memberantas produk palsu. Salah satunya membentuk satgas untuk memutus penjualan dan permintaan produk palsu di masyarakat.

"Kami mempunyai program yang bekerjasama dengan interpol. Dalam seminggu sekitar 120 situs yang menjual produk palsu berhasil kami tutup, lalu 20 sarana kita geledah, 14 di antaranya kami bawa ke ranah hukum," ujarnya.

Sementara Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake menilai peredaran produk palsu merupakan masalah serius karena menyangkut kesehatan publik dan perusahaan (yakni ketika produk dipalsukan maka perusahaan itu akan menderita kerugian).

"Masalah ini terjadi di semua negara. Oleh karena itu, semua negara harus bekerja sama mengatasi hal ini, termasuk dalam penegakan hukumnya," katanya.

Obat palsu memiliki dampak negatif bagi masyarakat, yakni mengakibatkan pasien tak kunjung sembuh dan resisten terhadap pengobatan sehingga dapat memperburuk kondisinya. Dalam kondisi ekstrem, obat palsu dapat menimbulkan kematian.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014