Seperti halnya Amerika Serikat yang memiliki lima angkatan pertahanan: darat, udara, laut, antariksa dan cyber war. Salah satu badan keamanan tersebut adalah National Security Agency (NSA),"
Jakarta (ANTARA News) - Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan kasus penyadapan yang dilakukan pihak Amerika dan Australia membuktikan lemahnya sistem keamanan nasional Indonesia di bidang teknologi informasi.

Indonesia seharusnya memiliki sebuah badan atau angkatan keempat, cyber war, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara, kata Agung Harsoyo dalam siaran pers diterima Antara di Jakarta, Rabu.

"Seperti halnya Amerika Serikat yang memiliki lima angkatan pertahanan: darat, udara, laut, antariksa dan cyber war. Salah satu badan keamanan tersebut adalah National Security Agency (NSA)," katanya.

Angkatan kelima ini didoktrin untuk melakukan "perang" terhadap berbagai ancaman siber. "Kegiatan yang mereka lakukan seperti penyadapan dan pengamanan. Penyadapan NSA meliputi telepon, komunikasi Internet, komunikasi radio, serta komunikasi-komunikasi lainnya yang bisa disadap. Pengamanan NSA meliputi komunikasi militer, diplomatik, serta komunikasi-komunikasi rahasia atau sensitif pemerintah. Lembaga ini memang dibentuk khusus untuk masalah ini," kata Agung.

Sayangnya pemerintah Indonesia tidak melihat persoalan siber menjadi persoalan yang strategis. Padahal, ke depannya, menurut dia, perang bukan semata-mata perang adu senjata, melainkan perang siber.

"Kita bisa mengambil pelajaran dari lumpuhnya negara Estonia. Lumpuhnya negara tersebut hanya dikarenakan matinya pusat listrik nasional, dan hanya karena terserang hacker dari negara Rusia. Akibat dari matinya listrik tersebut menyebabkan kekacauan seperti penjarahan, putusnya transportasi dan sebagainya. Kita harus menyadari bahwa perang siber tidak kalah dahsyatnya," katanya.

Agung memaparkan bahwa kasus penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia kepada pengguna selular di Indonesia jangan dianggap remeh oleh pemerintah. Menurut dia, pemerintah harus bertindak dalam melihat kasus ini.

"Mereka memiliki teknologi canggih untuk menyadap sistem telekomunikasi negara lain tanpa melibatkan peran dari operator domestik. Secara teknologi mereka sangat mumpuni. Jadi saya analisa sangat tidak masuk akal jika penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia melibatkan operator domestik yang ada di Indonesia," tuturnya.

Lebih lanjut Agung menilai, pihak operator telekomunikasi tidak mungkin melakukan tindakan di luar kewenangan yang ada, karena sudah ada rambu-rambu hukum yang harus dipegang.

"Logikanya tidak menguntungkan operator. Secara teknis, jika sebuah sistem telekomunikasi disadap, maka akan terjadi penurunan kualitas. Sedangkan bisnis telekomunikasi adalah bisnis layanan. Dalam hal ini saya melihat, operator sebagai korban penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia," kata Dosen ITB ini.

Agung menyebutkan ada beberapa kemungkinan trik penyadapan yang mungkin dilakukan di luar kendali operator. Penyadapan intelijen yang mungkin dilakukan di luar kendali operator itu diperkirakan melalui jalur base transceiver station (BTS) dan satelit.

"Penyadapan mungkin dilakukan antara ponsel ke BTS, BTS ke BTS atau BTS ke satelit. Penyadapan di jalur itu mungkin dilakukan tanpa diketahui operator karena di luar kendali mereka," ujarnya.

Yang harus dilakukan, lanjut Agung, pemerintah harus melindungi industri telekomunikasi. Karena industri ini sangat strategis.

"Sangat tidak fair jika ada penyadapan yang disalahkan operator, mestinya negara yang bertanggung jawab terhadap sistem keamanan komunikasi nasional. Karena domain sadap menyadap merupakan domainnya pemerintah," kata dia.(*)

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014