Kediri (ANTARA News) - Hidup di daerah rawan bencana, terlebih lagi tinggal di dekat gunung berapi, membuat warga harus siap-siap menghadapi fenomena alam berupa erupsi gunung.

Zaman kuno, masyarakat hanya mengandalkan tanda-tanda alam jika akan terjadi bencana erupsi gunung, misalnya turunnya sejumlah hewan dari kawasan hutan ke permukiman warga.

Namun, tak semua warga menyadari hal itu dengan baik. Buktinya, di Kediri tercatat banyak korban ketika Gunung Kelud (1.731 mdpl) erupsi.

Data di Proyek Kelud Kediri mencatat korban jiwa akibat erupsi gunung itu pada 19 Mei 1919 ada 5.110 jiwa, pada 31 Agustus 1951 ada tujuh jiwa, 26 April 1966 ada 212 jiwa meninggal.

Bahkan, data terbaru pada 10 Februari 1990 ada 33 korban jiwa meninggal dunia serta 43 terluka, namun erupsi pada tahun 2007 tidak ada korban jiwa karena sifatnya hanya efusif (letusan tertahan).

Atau, data selang tujuh tahun kemudian, Kelud mengeluarkan isi perutnya, berupa batu, pasir, dan abu vulkanik pada 13 Februari 2014 hingga tercatat empat korban jiwa di kawasan Ngantang, Malang.

Jika dilihat data, memang korban jiwa paling banyak akibat erupsi Gunung Kelud terjadi sebelum erupsi pada 1990, namun pengalaman erupsi 2007 akhirnya melahirkan sebuah komunitas masyarakat di kaki Gunung Kelud bernama "Jangkar Kelud".

Saat itu, masyarakat tidak ada yang mengkoordinasi, sehingga saat diputuskan untuk evakuasi, masyarakat sibuk dengan diri mereka sendiri.

Koordinator Jangkar Kelud Kediri Suprapto menyebut komunitas ini didirikan dengan tujuan sosial untuk melatih kepekaan masyarakat menghadapi ancaman erupsi Gunung Kelud. Masyarakat harus dilatih untuk siap dan siaga menghadapi bencana.

"Belajar dari pengalaman erupsi 2007, kami mendirikan komunitas masyarakat pada 2008. Kami ingin masyarakat berdaya, masyarakat bisa paham mengevakuasi dirinya sendiri," jelasnya.

Nama Jangkar Kelud itu sendiri berasal dari kalimat "Jangkare Kawulo Redi", yang pada intinya adalah melatih masyarakat untuk bisa hidup berdampingan dengan Gunung Kelud.

"Jika Kelud sedang punya hajat atau erupsi, masyarakat menyingkir dulu," ucapnya.

pelatihan gawat darurat
Di awal terbentuknya "Jangkar Kelud" yang meliputi daerah terdampak, yaitu Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang, program yang dilakukan pertama kali adalah membentuk tim siaga. Anggotanya adalah para remaja di kampung sendiri.

Di Kabupaten Kediri, tim siaga awalnya didominasi oleh remaja yang tergabung dalam radio komunitas. Mereka menyampaikan seluruh informasi terkait dengan Gunung Kelud.

tidak ada anggaran tetap untuk Jangkar Kelud.

Prinsip awal yang dibangun adalah "sing penting lakone disek. Tandang, ora penting kondang" yang artinya adalah yang penting program dijalankan. Berbuat lebih penting daripada menjadi terkenal.

Dengan prinsip itu, alhasil komunitas ini terus eksis sampai sekarang. Berbagai program pelatihan pun telah didapat di antaranya pelatihan penanggulangan gawat darurat (PPGD), fungsinya melatih memberikan pertolongan lebih cepat jika terjadi bencana.

Selain itu, juga pernah latihan berupa pendidikan kebencanaan, misalnya pengetahuan tentang status gunung, sehingga masyarakat paham yang harus dilakukan antara di level aktif normal, waspada, siaga, dan awas.

Terdapat juga program untuk terus menjalin komunikasi dengan komunitas lain yang disebut dengan "Jalin Paseduluran", misalnya dengan komunitas masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang komunitasnya disebut dengan "Pasak Merapi", atau dengan komunitas masyarakat di Gunung Bromo yang disebut dengan "Kobar Bromo" dan sejumlah komunitas lain.

Saat status awas pada Kamis (13/2) malam. Secara otomatis, warga sudah dengan teratur tenang dan mulai mengungsi. Perempuan, anak-anak, serta para lanjut usia (lansia) didahulukan naik kendaraan evakuasi yang sudah disiapkan petugas, dan terakhir para pria dewasa.

"Saya dan sejumlah rekan turun belakangan untuk memastikan semua warga sudah turun semua. Kami terus memantau dan melihat ke arah gunung, serta mengamati jika sewaktu-waktu tim PVMBG turun dari pos pengamatan," jelasnya.

Prapto mengatakan  bangga karena pelatihan yang diberikan kepada warga, walaupun lewat radio ataupun bertatap muka bisa bermanfaat.

Ia yakin dengan komunikasi terus menerus, masyarakat awam pun akan paham bagaimana mengelola dirinya agar siap menghadapi bencana.

Oleh Fiqih Arfani/Asmaul Chusna
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014