Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA), karena tidak semua komoditas dan jasa dalam negeri mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN, kata ekonom senior.

Ekonom senior Dr Rizal Ramli dalam keterangan pers mengatakan, langkah tersbeut harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

"Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan. Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan, kalau jadi presiden saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia," katanya pada diskusi "ASEAN Economy Community 2015" yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan, Bandung, Sabtu.

Kendati demikian, revisi skema kerja sama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia mendatang memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi.

"Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi ‘bulan-bulanan’ negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri," kata Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Menurut tokoh yang sebagai Presiden Komisaris PT Semen Gresik berhasil mendongkrak laba Semen Gresik Grup dengan cepat itu, seharusnya para pejabat Indonesia lebih teliti dalam menandatangani berbagai kesepakatan regional atau internasional.

"Dalam konteks kerja sama ekonomi, apalagi perdagangan bebas, mereka tidak boleh asal tandatangan secara gelondongan. Harus dilihat plus-minusnya secara sektor per sektor," ujarnya.

Yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia, lanjut tokoh yang gigih memperjuangkan ekonomi konstitusi ini, bukanlah "free trade" alias perdagangan bebas.

"Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor," katanya.

Rizal mencontohkan, sektor tekstil dan produk tekstil, misalnya, Indonesia bisa disebut unggul untuk kawasan ASEAN. Begitu juga dengan minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan kakao.

Untuk sektor-sektor unggulan semacam ini, katanya, yang berhasil menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa menyuntikkkan serupiah pun tersebut, Indonesia seharusnya fight agar bisa dibuka sebebas-bebasnya.

"Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja disain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian," katanya.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014