... Intinya, mereka meminta kami membantu mencari pesawat terbang Malaysia Airlines yang dinyatakan hilang kontak itu... "
Jakarta (ANTARA News) - Kurang dari 24 jam sejak penerbangan MH370 Malaysia Airlines dinyatakan hilang, TNI AL dan TNI AU mengerahkan kapal-kapal perang dan pesawat udaranya turut dalam operasi internasional SAR mencari Boeing B-777-200ER yang menerbangkan 227 pemakai jasa penerbangan, dua pilot dan 10 awak kabinnya itu.

"Tadi saya berkomunikasi dengan Panglima Tentera Laut Diraja Malaysia, Laksamana Tan Sri Abdul Aziz. Intinya, mereka meminta kami membantu mencari pesawat terbang Malaysia Airlines yang dinyatakan hilang kontak itu," kata Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Marsetio, kepada antaranews.com, di Jakarta, Minggu.

TNI AL mengerahkan lima kapal perang, yaitu satu korvet (KRI Sutanto-377), empat kapal patroli cepat (KRI Krait-827, KRI Matacora-823, KRI Tarehu-829, dan KRI Siribua-859), plus satu pesawat intai amfibi CASA C-212 Aviocar bernomor U-621 dari Pusat Penerbangan TNI AL.

Sementara TNI AU agak belakangan, mereka menerbangkan Boeing B-737 Surveillance dari Skuadron Udara 5 Surveillance yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Makassar. Fungsi utama B-737 yang satu ini untuk pengintaian, pelacakan, dan peringatan dini dari udara; baik untuk sasaran di laut atau di udara.

Korvet KRI Sutanto-377 adalah kapal kelas Parchim buatan galangan kapal Penewoorft di Wolfgast, Jerman Timur, program Project 133.1, pada akhir dasawarsa '70-an.

Jane's menyatakan, kapal ini dirancang dan dibangun sebagai anti kapal selam di perairan dangkal (littoral), dengan kecepatan lumayan, yaitu 24,7 knot perjam.

Dengan dimensi panjang 75,2 meter dan lebar 9,8 meter serta bagian terendam air 2,73 meter, dia sangat langsing untuk ukuran pemburu kapal selam, yang dioperasikan 60 personel termasuk komandan kapal. Ada 16 kapal kelas Parchim yang dibuat dan diserahkan kepada Angkatan Laut Uni Soviet, dan "dikembalikan" ke Jerman Timur segera setelah Uni Soviet runtuh menjadi Rusia.

Indonesia, saat itu di bawah pemerintahan Soeharto dengan BJ Habibis sebagai "orang kuat" di bidang teknologi dan sains, mengakuisisi seluruh korvet kelas Parchim ini. Dikarenakan ukurannya tidak besar maka korvet ini cuma mampu membawa perbekalan untuk operasi tidak terlalu lama dan jauh, hanya di kisaran 2.100 mil laut dengan kecepatan ekonomis 14 knot perjam.

KRI Sutanto-377 membawa persenjataan standar dari pabriknya, yaitu dua peluru kendali permukaan ke udara jarak pendek SA-N-5, dua meriam 57 milimeter, dua mitraliur 30 milimeter bertipe AK-630, dua peluncur roket anti kapal selam RBU-6000, dan empat tabung torpedo 400 milimeter di kedua sisi sebagai senjata utama, plus 60 ranjau laut.

Karena dia bekas dipakai Angkatan Laut Uni Soviet, maka dia membawa juga dua rak bom laut yang memuat 12 unit, selain tambahan SA-N-8 sebagai peluru kendali permukaan ke udara.

Kapal-kapal korvet kelas Parchim lain yang kini tergabung dalam TNI AL adalah KRI Kapitan Pattimura-371, KRI Cut Nyak Dien-375, KRI Sultan Thaha Syaifuddin-376, KRI Imam Bonjol-383, KRI Pati Unus-384, KRI Teuku Umar-385, KRI Silas Papare-386, KRI Hasan Basri-382, KRI Untung Suropati-372,KRI Nuku-373, KRI Lambung Mangkurat-374, KRI Sutanto-377, KRI Sutedi Senoputra-378, KRI Wiratno-379, dan KRI Tjiptadi-381.

KRI Krait-827 merupakan kapal cepat 40 meter yang baru. Dia didedikasikan untuk menghalau musuh di perairan dangkal dengan persenjataan "tidak seberat" kelas Parchim. Bisa dibilang, kapal ini anak kandung Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan TNI AL di Mentigi bekerja sama galangan kapal swasta nasional PT BES di Batam, Kepulauan Riau.

Yang menarik, kapal ini dibangun memakai badan kapal alumunium seluruhnya, digerakkan dua mesin diesel yang mampu memancarkan 1.250 tenaga kuda, memampukan dia berlari memecah ombak pada kisaran 20 knot perjam. Adalah Laksamana Pertama TNI (saat itu) Marsetio yang turut meletakkan lunas perdananya pada 2007, di Batam.

KRI Krait-827 menjadi perintis kemandirian Indonesia dalam pengadaan kapal perang multi fungsi di kelasnya; selain operasional perang, dia juga bisa segera diubah menjadi kapal SAR atau misi mitigasi kebencanaan, sehingga dia menjadi satu pertimbangan penting dalam operasi internasional SAR mencari MH370 Malaysia Airlines itu.

Beberapa teknologi masa kini dipasang di dalam tubuhnya, di antaranya sistem autopilot, derek hidrolik, selain persenjataan berbasis giroskopik dan penjejakan sasaran secara elektronika canggih. Kapal perang kelas ini --panjang 40 meter, lebar 7,2 meter, dan jangkauan operasional 3.600 mil laut-- dijagokan menjadi basis pengembangan kapal-kapal perang buatan Indonesia yang lebih besar.

Radar cukup canggih, ARPA 96 mil laut, dan sistem navigasi yang mumpuni sangat pas untuk keperluan operasi mencari MH370 kali ini, bersama puluhan kapal perang lain dari delapan negara, yaitu Indonesia, Amerika Serikat, Filipina, Viet Nahm, Thailand, Malaysia, Australia, dan China.

Sedangkan KRI Matacora-823 juga berdimensi sama dengan KRI Krait-827 namun seluruh bodinya dibuat dari serat kaca, sebagai bagian dari penguasaan teknologi perkapalan nasional; juga rancangan Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan TNI AL bekerja sama dengan galangan kapal swasta nasional.

Oleh TNI AL, KRI Matacora-823 dimasukkan ke dalam kelas Viper untuk kapal patroli cepat 40 meter, bersama KRI Piton-820, KRI Weling-822, dan KRI Tedung Selar-824.

Hal serupa terjadi pada KRI Tarehu-829, yang dimasukkan ke dalam kelas Cobra kapal cepat patroli 40 meter berbodi serat kaca dengan plastik diperkuat. Sama-sama dibuat di PT BES di Mentigi, Batam, kapal kelas ini kelanjutan dari kapal cepat patroli 40 meter kelas Clurit.

KRI Siribua-859 merupakan kapal perang bekas Angkatan Laut Australia yang diluncurkan pada 1986. Dia masuk ke dalam kelas kapal patroli serang dengan kemampuan perang anti permukaan laut. Kapal perang ini berdimensi kecil saja (32,76 meterx6,2 meter, dan bagian terendam air 1,9 meter), dan kecepatan jelajahnya 21 knot perjam pada bobot 150 ton.

Dia sangat gesit bermanuver di perairan dangkal dan sela-sela pulau kecil, sangat efektif untuk menghalau perompak di perairan tersembunyi, dengan meriam utama Bofors 40 milimeter, senapan mesin 7,62 milimeter, dan sistem pertahanan udara pasif plus beberapa torpedo ringan untuk pertempuran bawah pemukaan laut.

Dalam nomenklatur kapal perang Angkatan Laut Australia, dia dimasukkan ke dalam kelas Attack (di antaranya HMAS Bombard P99), yang dibangun pada 1968 dan diserahkan kepada TNI AL pada 1983 dan diremajakan pada 2000-an. Oleh Australia, perairan Kalimantan bagian Malaysia dan Papua Niujini sangat akrab dengan kelas Attack ini.

TNI AL memiliki jajaran kapal perang ringan ini, yaitu KRI Sibarau-847, KRI Siliman-848, KRI Sigalu-857, KRI Silea-858, KRI Siribua-859, KRI Waigeo-961, dan KRI Siada-862.

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014