Kalau kerahasiaan bank dibuka untuk pajak, kita memberikan sistem yang memungkinkan untuk melindungi nasabah, jadi masyarakat tidak perlu takut."
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengatakan hampir seluruh negara di dunia telah membuka data nasabah perbankan untuk kepentingan perpajakan, namun Indonesia belum melakukan hal tersebut.

"Kalau kerahasiaan bank dibuka untuk pajak, kita memberikan sistem yang memungkinkan untuk melindungi nasabah, jadi masyarakat tidak perlu takut," ujarnya di Jakarta, Selasa.

Fuad mengharapkan segera adanya revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan agar petugas Ditjen Pajak memiliki akses untuk membuka data rekening nasabah atau Wajib Pajak yang dicurigai menghindar dari kewajiban membayar pajak.

"Selama membayar pajaknya sudah benar, dia tidak perlu takut. Kalau dia takut, berarti dia mulai takut soal pajak. Negara lain bisa (menerapkan), kenapa kita tidak berani," katanya.

Untuk itu, Fuad menambahkan Kementerian Keuangan telah berkoordinasi dengan Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebagai institusi yang memiliki pengalaman, terkait penggalian potensi penerimaan dari sektor perpajakan.

"Mereka memiliki spesialisasi dalam perpajakan, kita sudah bilang sama mereka. Sekarang negara maju telah membuka kerahasiaan, emerging market juga sudah, kenapa kita tidak melakukannya," ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan dapat meningkatkan penerimaan perpajakan yang selama ini masih terhambat karena keterbatasan serta ketersediaan data dari Wajib Pajak.

"Yang paling penting adalah akses, (pembukaan) rekening bank itu penting, kalau punya informasi yang jelas, nanti terlihat ada pola yang aneh atau tidak. Negara lain sudah bisa melakukannya untuk keterbukaan data ini," katanya.

Bambang mengatakan pembukaan data nasabah dapat meminimalisir adanya penggelapan pajak, dan kerahasiaan perbankan di era modern seperti saat ini sudah tidak relevan karena hampir tidak ada negara yang menerapkannya lagi.

Namun, ia mengakui kemungkinan dapat terjadi penyalahgunaan pemanfaatan data perbankan tersebut, untuk itu dalam revisi UU perbankan juga diperlukan protokol sebagai upaya mengurangi tindakan penyelewengan atas keterbukaan data.

"Penyalahgunaan dimanapun terjadi di seluruh dunia, kita harus mencari cara untuk mengendalikan, karena negara lain sudah bisa menerapkan keterbukaan bank untuk pajak. Di G20 ini sudah menjadi pembicaraan, karena pajak ini untuk negara," kata Bambang. (*)

Pewarta: Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014