... sensor terbaik bagi upaya SAR tetaplah mata manusia... "
Jakarta (ANTARA News) - Bisa dibilang belum pernah operasi pencarian pesawat terbang hilang dilaksanakan besar-besaran seperti yang dilakukan terhadap MH370 Malaysia Airlines saat ini; 25 negara terlibat dari tiga kawasan utama dunia, puluhan kapal perang dan sipil, serta wahana udara militer.

Sejak dinyatakan hilang kontak pada Sabtu lalu (8/3), pencarian hingga saat ini belum menunjukkan hasil apa pun kecuali berbagai kemungkinan, perkiraan, dan hal-hal sejenis itu. Jarak tempuh Boeing B-777-200ER normal yang sampai 8.200 mil laut (lebih dari 13.200 kilometer) menjadi hal penting dalam perluasan theater pencarian gabungan internasional ini.

Malaysia, sebagai negara bendera MH370 bernomor seri 9M-MRO itu bercatat jelas menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam pencarian. 239 jiwa ada di dalam MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing itu, 12 di antaranya awak pesawat terbang, termasuk kapten pilot Zaharie Ahmad Shah (53 tahun) dan Fariq Abd Hamid (kopilot/27 tahun).

Malaysia belum bisa memberi penjelasan memuaskan berbagai hal tentang kehilangan MH370 itu. China gusar, karena 153 warganya turut hilang, lenyap begitu saja seperti ditelan Bumi.

Bukan cuma pencarian memakai cara visual-mekanikal saja yang dilibatkan, melainkan juga berbasis teknologi canggih. Sumber yang dimintai pendapat flightglobal, menyatakan, "SAR ini sangat berat dan sulit, batas akhir pencarian juga tidak jelas. Area pencarian makin lebar dan lebar."

Dengan asumsi MH370 Malaysia Airlines itu kehabisan bahan bakar setelah dimelencengkan ke sana-sini di luar flight plan oleh pihak pengendali MH370 itu, pencarian di perairan dilakukan juga dari udara dan ruang angkasa.

Belasan satelit militer dan sipil dikerahkan untuk menjejaki rekaman sinyal aircraft communication and reporting system yang dilaporkan masih terpancar hingga lima jam MH370 itu hilang kontak. Emergency locator transmitter --pemancar titik lokasi terakhir jika ada impak di darat dan laut-- yang biasa ditanam di bagian ekor fuselage pesawat terbang juga jadi tuntunan para pencari.

Electro-optical/infrared sensor sebagaimana halnya dengan radar, menjadi andalan pada kisaran pencarian makro. Pada kasus MH370 yang diketahui ketinggian terakhirnya 33.000 kaki dari permukaan laut --jika dia pecah di udara-- hampir bisa dipastikan ukuran pecahannya kecil-kecil dan rusak yang makin menyulitkan dia ditelusuri radar.

Jika dia mengapung di laut, pecahan-pecahan itu tidak membangkitkan getaran berkecepatan Doppler relatif terhadap kecepatan gelombang laut di sekitarnya alias dia akan "samar", nyaris serupa dengan keadaan sekitar. Inilah yang juga menyulitkan radar dan sistem serupa forward looking infrared di pesawat intai maritim sulit bekerja.

Perangkat lunak komputer di sistem ini memang bisa memfilter hal ini di layar monitor, namun mematikan feature itu hanya menambah jumlah pantulan secara sporadis, tidak menambah efektivitas kerja sistem pencari. Makanya, andalan berikut adalah electro-optical/infrared sensor(s), yang juga bisa tidak berdaya guna maksimal jika obyek yang dicari terlanjur lama ada di dalam air.

Temperaturnya pasti sudah sama dengan temperatur lingkungan, berujung pada kesulitan tambahan pencarian. Masih ada lagi tambahan pekerjaan pencari, kapal-kapal nelayan dan kapal kecil yang berlayar di alur pencarian; mereka tidak dilengkapi sistem identifikasi otomatis (AIS/automatic identification systems) sebagaimana dipakai di kapal-kapal besar.

Kapal-kapal kecil ini banyak sekali yang melayari Laut China Selatan dan Teluk Thailand. Sekedar informasi, kenyataan "percampuran" di layar radar dan sensor pencari antara tampakan kapal kecil dan bagian besar pesawat terbang yang hilang/jatuh serupa ini juga terjadi pada pencarian AF447 Air France di Samudera Atlantik dalam rute Rio de Janeiro, Brazil, ke Paris, pada 31 Mei 2009.

Bagi pencari, sistem penjejak akan "membaca" kapal-kapal ini sebagai obyek besar yang dicari. Sebagai informasi, bagian terbesar setelah fuselage adalah sayap dengan rentang panjang hampir 65 meter alias 30-an meter jika dipisah. Sayap tegak (vertical stabilizer dengan rudder-nya), bisa sepanjang 10 meter.

Singapura sebagai salah satu negara pencari, menawarkan bantuan akses sistem informatika jaringan kapal-kapal internasional yang dia kelola. Banyak yang masih harus dikerjakan dan dikoordinasikan, di antaranya pertukaran informasi agar efektivitas pencarian semakin maksimal.

Menurut kalangan penerbangan internasional, sensor terbaik bagi upaya SAR tetaplah mata manusia. Itulah sebabnya, pesawat patroli maritim dirancang mendekati kemampuan pengenalan dan pemilahan obyek seperti mata manusia.

Masalahnya, walau tampak sempit di peta, namun --sebagai misal-- celah tersempit Selat Malaka tetaplah sangat lebar dan luas untuk dimonitor dan ditelusuri. Pengalaman penulis saat berlayar dan terjebak badai siklon di Laut Mediterania pada 2003, jika gelombang laut dinyatakan empat meter berarti kapal terangkat dan dijatuhkan gelombang badai setinggi delapan meter.

Begitupun jika ketinggiannya lima meter, maka angka angkat-dan-jatuhkan itu menjadi 10 meter, dan seterusnya. Belum lagi dikombinasikan dengan kecepatan arus (atas dan bawah laut).

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014