Jakarta (ANTARA News) - Hamidin (65) hanya bisa tercenung memandangi hamparan air di sawah miliknya di Desa Pasir Jaya, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, akhir Februari lalu.

Hujan semalaman yang mengguyur daerah itu membuat separuh sawahnya tergenang air. Padahal, sawahnya baru saja ditanami bibit.

Dia mengatakan kejadian seperti itu biasa terjadi, dan tanpa bisa diprediksi.

"Tergantung lama atau tidaknya hujan turun. Kalau hujan berhari-hari tanaman bisa mati," ujar Hamidin.

Pria yang mempunyai lima anak itu mengaku sudah bercocok tanam sejak muda. Dari penghasilannya sebagai petani, dia mampu membiayai sekolah kelima anaknya itu hingga sekolah menengah atas.

Dibandingkan sepuluh tahun lalu, dia mengaku terjadi perubahan yang mendasar pada cuaca. Sekarang dia sulit memperkirakan awal musim tanam yang tepat.

"Sawah di sini tadah hujan, jadi sangat bergantung pada cuaca," tuturnya.

Jika dulu petani bisa menanam padi kapan saja, karena pada musim kemarau pun masih ada hujan. Berbeda dengan kondisi saat ini, musim kemarau dan hujan semakin panjang.

"Kalau dulu, bisa panen tiga kali dalam setahun. Sekarang dua kali panen saja sudah bersyukur."

Hasil panen pun tidak sebanyak dulu. Untuk satu hektare hanya mendapat sekitar tiga ton gabah.


Busuk

Nun jauh, di lereng Gunung Merapi tepatnya Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, petani cabai mengeluhkan hal yang senada. Cuaca buruk yang melanda sejak sebulan terakhir membuat mereka mengalami kerugian.

Tanaman cabai yang sedianya siap panen, layu dan buahnya rontok akibat guyuran air hujan.

Petani cabai Joyo Panut hanya mengaku pasrah dengan kondisi tanamannya itu. Akar dan batang cabai banyak yang membusuk akibat terlalu banyak air.

"Petani melakukan berbagai upaya seperti memperbaiki saluran air. Selain itu, angin kencang juga mengakibatkan sebagian tanaman cabai rusak dan roboh."

Untuk mengantisipasinya, sebagian petani terpaksa menopang tanaman dengan bambu. Hal itu dilakukan agar tanaman tidak membusuk.

Sebagian petani cabai terpaksa memanen lebih awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Hasil panen tersebut rata-rata merosot hingga sekitar 70 persen dibandingkan panen saat kondisi cuaca bagus.

Padahal saat cuaca baik, biasanya dalam satu hektare biayanya mencapai Rp9 juta dan bisa menghasilkan enam hingga tujuh kwintal cabai. tercapainya ketahanan pangan nasional.


Siklus Hidrologi

Pakar lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri mengatakan cuaca ekstrem yang melanda Tanah Air karena dampak terhambatnya siklus hidrologi.

Sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrem.

"Berbagai bentuk hidrologi di muka bumi pada saat ini sudah tidak memiliki pola yang beraturan. Hal itu dikarenakan terjadi kerusakan wilayah," kata Ariful.

Ariful kegiatan perluasan kebun sawit maupun izin Hutan Tanaman Industri (HTI) merampas areal tangkapan air yang menyebabkan bencana hidrologis.

Pemerintah hendaknya melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar menyatakan cuaca ekstrem masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

Untuk itu diperlukan kebijakan jangka panjang dalam menghadapi perubahan cuaca yang ekstrim itu.

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengatakan cuaca ekstrem sebagai dampak perubahan iklim sudah dirasakan oleh Indonesia sejak lima tahun yang lalu.

"Perubahan iklim merupakan fakta yang terjadi di dunia, bukan hanya di Indonesia," jelas Chalid.

Cuaca semakin sulit diperkirakan sehingga membuat petani gagal panen, gagal tanam, sementara nelayan sulit untuk melaut.

"Akibatnya sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan kita, solusinya impor. Itu tidak sehat karena bergantung pada asing," cetus dia.

Indonesia, lanjut Chalid, harus mengambil peran dalam upaya mengurangi emisi dengan melakukan pembangunan rendah karbon, serta menyelamatkan hutan karena keinginan sendiri bukan karena uang.

"Pemerintah juga harus meminta agar negara maju mengurangi emisinya, karena secara historis menyumbang emisi karbon paling banyak," tukas dia.


Sekolah Lapang Iklim

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widada Sulistya mengajak para petani untuk melakukan upaya adaptasi perubahan iklim melalui Sekolah Lapang Iklim.

"Sekolah Lapang Iklim ada di 25 provinsi atau 44 sentra padi di Tanah Air," ujar Widada.

Sekolah Lapangan Iklim adalah sekolah yang membantu petani dalam upaya adaptasi dengan memberikan informasi teknis pertanian, seperti peta, data hujan, besar temperatur dan perkiraan cuaca.

Nantinya, informasi teknis tersebut digunakan petani untuk mengambil keputusan, mulai dari kapan menanam dan tanaman apa yang ditanam.

Sekolah itu terdiri dari tiga tahap yakni pegawai dinas pertanian di daerah, kemudian dilanjutkan dari dinas pertanian ke penyuluh, selanjutnya penyuluh yang mengajari petani hingga panen.

"Di Bali sudah terbukti, petani yang mengikuti sekolah iklim mendapatkan 8,5 ton padi saat panen, sedangkan yang tidak mengikuti sekolah iklim hanya empat ton padi," terang Widada.

Selain mendapatkan hasil yang berlimpah, kecenderungan untuk gagal panen sangat kecil. Widada mengharapkan sekolah itu dapat membantu mensejahterakan petani Indonesia.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Haryono menyebutkan kerugian akibat perubahan iklim mencapai puluhan milyar setiap tahunnya.

"Berbagai inovasi teknologi telah dikembangkan oleh berbagai instasi terkait. Di antaranya mengembangkan teknologi Biofertilizer dan BilPeat untuk meningkatkan produksi ketersediaan pangan," kata Haryono.

Teknologi merupakan elemen penting dalam menghadapi iklim seperti saat ini, selain itu memberikan dukungan di bidang pertanian agar dapat


Ajak Generasi Muda

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya mengatakan cuaca ekstrem yang penuh dengan ketidakpastian merupakan dampak dari perubahan iklim.

Sejumlah negara sudah merasakan dampaknya dan menimbulkan kerugian materil dan jiwa. Contoh pada Januari lalu, di Atlanta, Amerika Serikat, mengalami penurunan suhu hingga minus 50 derajat celsius, sedangkan di California terjadi kebakaran hutan.

Tapi di benua lainnya tepatnya di Inggris dan juga Indonesia terjadi banjir.

"Perubahan iklim bukan lagi hanya isu tapi benar-benar sudah dirasakan," kata Andi.

Salah satu fenomena iklim ekstrem yang berdampak sangat luas adalah kekeringan. Fenomena El Nino yang terjadi di lautan Fasifik telah diketahui sebagai penyebab terjadinya kekeringan ekstrim di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia.

"Bahkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO yang merupakan aliansi puluhan negara mengatakan tantangan utama pada 2025 bukan perang, melainkan perubahan iklim," ujarnya.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai perubahan iklim, BMKG mengajak generasi muda untuk peduli dan mau mengubah pola hidup menjadi ramah lingkungan.

Pasalnya, seperenam dari penduduk Indonesia adalah kaum muda yang nantinya memegang peranan strategis pada masa yang akan datang.

"Perubahan iklim terjadi karena aktivitas yang kita sadari dan tidak disadari oleh kita ," cetus pria ramah itu.


Jajaki PAUD

Deputi Bidang Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asad menyebutkan mulai 2014, pihaknya memperluas pelaksanaan program Adiwiyata ke tingkat sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) agar menerapkan kegiatan pelestarian lingkungan.

"Selama ini hanya dilaksanakan pada tingkat SD, SMP dan SMA, namun mulai 2014 ini akan diperluas ke tingkat PAUD karena program ini sangat penting untuk memperkenalkan sejak dini pengetahuan dan kesadaran mengenai pelestarian lingkungan kepada anak didik," kata Deputi.

Pelaksanaan program Adiwiyata di tingkat SD, SMP dan SMA dinilai berhasil, ditandai dengan semakin banyaknya sekolah yang menciptakan lingkungan sekolahnya bersih, hijau dan asri.

Masyarakat di sekolah bersangkutan juga semakin sadar dalam melakukan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pelestarian lingkungan, baik berupa penanaman pohon dan tanaman hias di lingkungan masing-masing maupun dalam penanggganan sampah serta upaya menghemat energi.

Kemen LH setiap tahunnya membina 2.000 lebih sekolah di seluruh Indonesia pada program Adiwiyata tersebut, namun yang mampu mencapai sesuai kriteria yang ditetapkan hanya 410 sekolah dan yang bisa mendapatkan penghargaan sekolah Adiwiyata tingkat nasional hanya 100 sekolah lebih.

"Melalui program ini, diharapkan kecintaan terhadap lingkungan bisa ditanamkan sejak dini," kata Ilyas.
(I025/A013)

Oleh Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014