Menurut undang-undang yang mengawasi rakyat Indonesia, lewat apa? Nggak ada. Sampai sekarang laporannya belum keluar, padahal perusahaan yang normal Maret sudah keluar RUPS,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketua II DPP PBMT Indonesia Awalil Rizky menilai status independensi Bank Indonesia yang berdiri di luar pemerintah membuat bank sentral tersebut berkedudukan terlampau kuat tanpa pengawasan sehingga rawan dimanfaatkan atau "dirampok" pihak tak bertanggungjawab.

"Posisi BI yang terlampau kuat harus ditinjau ulang. Kemungkinan bisa terjadi konspirasi antara penentu kebijakan di BI dengan kekuatan ekonomi atau politik. Dugaan atas konspirasi yang demikianlah yang mewarnai debat kasus Bank Century," kata Awalil yang juga Chief Economist PBMT Ventura di Jakarta, Jumat.

Awalil mengatakan saat ini Bank Indonesia berjalan hampir tanpa pengawasan.

"Menurut undang-undang yang mengawasi rakyat Indonesia, lewat apa? Nggak ada. Sampai sekarang laporannya belum keluar, padahal perusahaan yang normal Maret sudah keluar RUPS," ujar Awalil.

"Kedua, BI buat laporan ke DPR setiap tiga bulan sekali tapi sampai saat ini DPR nggak punya hak nanya, karena itu hanya progress report. Namun BI anggap itu laporan pertanggungjawaban," tambahnya.

Ia mengatakan pemeliharaan stabilitas rupiah sebagai tujuan yang hendak dicapai BI sering dilakukan dengan pengetatan moneter.

Hal ini, setidaknya dalam jangka pendek, katanya, bisa bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah yaitu penciptaan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, penetapan suku bunga yang tinggi dapat mengorbankan sektor tertentu.

"Suku bunga yang tinggi hanya untuk mengendalikan inflasi. Suku bunga kita lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand," ujarnya.

Menurutnya dengan kebijakan inflasi, nilai tukar, dan biaya moneter di BI sekitar Rp32 triliun ternyata belum bisa mempertahankan stabilitas rupiah.

"Nilai tukar tidak bisa untuk mempertahankan stabilitas di Rp9.000, artinya BI sewenang-wenang tapi kita nggak bisa buktikan apakah salah kebijakan atau terhadap pasar tidak independen," kata Awalil.

Mendekati Pemilu 2014, lanjut Awalil, terjadi fluktuasi nilai rupiah yang cukup intens sejak bulan Agustus 2013. Begitu pula saat menjelang Pemilu sebelumnya.

"Ada para pihak yang diuntungkan dengan fluktuasi rupiah sebesar itu dan arus masuk modal asing. Buat kekuatan ekonomi besar, itu predictable. Kita bisa menengarai pihak yang mendapatkan keuntungan peristiwa ekonomi apa tidak sedang mengumpulkan sesuatu untuk sesuatu. Apakah saya tidak pantas curiga fluktuasi nilai rupiah hanya intens beberapa bulan sebelum pemilu?" jelasnya.

Untuk menekan terjadinya penyelewengan atas kewenangan di BI, Awalil menilai agar BI menjadi bagian pemerintah sehingga bisa mendapat pengawasan yang ketat.

"BI lebih baik masuk pemerintah. Kalau dari pengalaman sebelumnya, lebih dimungkinkan pihak-pihak yang punya power bisnis takutnya bisa mengambil keuntungan dari oknum ketika BI independen," ujar Awalil. 

(M047/T007)

Pewarta: Monalisa
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014