Palu (ANTARA News) - Keluarga Habib Saggaf Aljufri bisa saja menjadi orang yang paling berbahagia pada hari itu.

Keturunan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri itu bersyukur dan bangga karena nama kakeknya ditetapkan sebagai bagian dari nama Bandar Udara Mutiara Palu.

Mulai 28 Februari 2014, bandara kebanggaan masyarakat Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah itu bernama Mutiara SIS Aljufri, setelah Menteri Perhubungan EE Mangindaan membubuhkan tandatangan di surat keputusan perubahan nama itu.

Habib Saggaf Aljufri yang juga Ketua Utama Pengurus Besar Alkhairaat itu mengumpulkan keluarga dekatnya untuk bersyukur ketika perubahan nama bandara itu diumumkan pada pertengahan Maret 2014.

"Keluarga Habib Saggaf juga akan membuat acara syukuran sebagai ungkapan rasa terima kasih," kata Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat Lukman Thaher baru-baru ini.

Dia mengatakan perubahan nama bandara di Palu itu sangat berarti bagi Alkhairaat dan warga Sulawesi Tengah.

"Ini berarti pemerintah setempat telah mempercayakan kepada pendiri Alkhairaat," kata mantan Rektor Universitas Islam Alkhairaat ini.

Di dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 178 Tahun 2014 tercatat Habib Sayyid Idrus bin Salim AlJufri merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah di bidang pendidikan agama Islam.

Ulama asal Hadramaut, Timur Tengah, itu dianggap sebagai inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi organisasi Alkhairaat.

Perubahan nama bandara itu juga untuk menghargai jasa serta perjuangan Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dalam menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur Indonesia.

Wali Kota Palu Rusdy Mastura mengatakan bahwa kata Mutiara pada nama bandara tetap dipertahankan karena mengandung nilai sejarah tinggi. Nama Mutiara sendiri diberikan oleh Presiden Soekarno saat berkunjung ke Palu pada 5 Oktober 1957.

Bung Karno saat itu merasa prihatin dengan nama pertama bandara di Palu yang didaratinya, yakni "Masovu". Masovu adalah bahasa Kaili yang berarti berdebu. Mengetahui artinya yang dirasa kurang sedap, Bung Karno segera menggantinya menjadi Bandara Mutiara.

Alasannya adalah sewaktu Bung Karno hendak mendarat di Palu yang saat itu masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Donggala, dia melihat perairan di sekeliling daerah itu berkilauan laksana mutiara bertaburan.

Sejarah memang tak bisa dikesampingkan. Karena itu nama Bandara Mutiara SIS Aljufri diusulkan oleh Pemkot Palu setelah melalui persetujuan DPRD setempat sejak tiga tahun silam.

SIS Aljufri dianggap sosok yang mewariskan ilmu tak lekang oleh waktu dan terus memancarkan sinar ibarat mutiara.

Nama Bandara Mutiara SIS Aljufri yang baru diumumkan itu kini gencar disosialisaikan oleh pihak bandara, Pemerintah Kota Palu, dan maskapai penerbangan.

Kepala Bandara Mutiara SIS Aljufri Benyamin Apituley mengatakan sosialisasi itu dilakukan melalui pilot pesawat kepada penumpang ketika akan mendarat di bandara di Palu.

Selain itu, katanya, pihaknya juga akan mencatatkan nama Bandara Mutiara SIS Aljufri ke dalam buku penerbangan nasional dan internasional agar diketahui secara luas.

Benyamin mengatakan pihaknya juga sedang menyesuailkan nomenklatur perubahan nama bandara selama enam bulan ke depan.

"Kita juga akan menarik cap atau kop surat yang telah keluar dan menggantinya dengan yang baru," ujarnya.

Saat ini Bandara Mutiara SIS AlJufri sedang dalam penyelesaian pembangunan terminal, dan akan dipergunakan secara resmi pada 13 April 2014 bersamaan dengan HUT ke-50 Provinsi Sulawesi Tengah.

Guru Tua
SIS AlJufri yang juga disapa Guru Tua adalah tokoh muslim penyebar agama Islam yang mendirikan perguruan tinggi Alkhairaat di Kota Palu dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia.

Hingga saat ini Alkhairaat terus berkembang dengan mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan sejumlah unit usaha lainnya.

Guru Tua lahir di Hadramaut, Yaman, 15 Maret 1892. Guru Tua bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929.

Kedatangannya di Wani atas ajakan masyarakat Arab melalui saudara SIS Aljufri untuk mendirikan madrasah.

Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu.

Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat.

Guru Tua wafat pada 22 Desember 1969 dan dimakamkan di dekat masjid Alkhairaat di Jalan SIS Aljufri.

SIS Aljufri telah mengabdi untuk kepentingan umat Islam di Nusantara, khususnya di bagian timur Indonesia sekitar 40 tahun.

Hingga saat ini telah terdapat sekitar 1.600 sekolah Alkhairaat berbagai tingkatan di kawasan timur Indonesia.

SIS Aljufri juga dikenal dengan panggilan Guru Tua karena hingga akhir hayatnya dia selalu memberikan ilmu kepada masyarakat melalui madrasah ataupun ceramah agama di berbagai tempat.

Guru Tua juga dianggap sebagai sosok yang memberi pencerahan kepada masyarakat karena pada awal kedatangannya banyak masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

"Guru Tua adalah simbol di Sulawesi Tengah dan masyarakat timur Indonesia sudah selayaknya perjuangannya diakui pemerintah," kata Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat Lukman Thaher.

Sebelum diabadikan menjadi bagian nama bandara, SIS Aljufri juga telah ditetapkan sebagai nama jalan di Kota Palu. Guru Tua juga telah diusulkan menjadi pahlawan nasional beberapa tahun silam.

"Pintu masuk untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional sudah terbuka," kata Lukman Thaher.

Oleh Riski Maruto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014