Kebijakan Israel berisi ciri khas kolononialisme, apartid dan pembersihan suku. Praktik yang tidak bisa diterima."
Ramallah (ANTARA News/Xinhua-OANA) - Presiden Palestina Mahmoud Abbas menilai kebijakan Israel untuk memperluas permukiman Yahudi dan pembunuhan orang Palestina membuat pembicaraan perdamaian berada dalam kondisi negatif, demikian laporan kantor berita resmi Palestina (WAFA).

"Kebijakan pemerintah Israel mengakibatkan kegagalan upaya internasional yang bertujuan mewujudkan perdamaian di Timur Tengah," kata Abbas selama satu pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn, Sabtu malam (22/3).

Ia kembali mengatakan, pihak Palestina terikat komitmen untuk mewujudkan perdamaian yang adil dan langgeng dengan dasar penerapan resolusi internasional sampai berdirinya negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Pembicaraan perdamaian langsung yang ditaja AS antara Israel dan Palestina, yang ditetapkan berlangsung dari Juli sampai April, belum mencapai hasil nyata apa pun, demikian pernyataan yang sebelumnya dikeluarkan oleh pejabat Palestina dan Israel.

Sementara itu, Asselborn menegaskan dukungan negaranya bagi berdirinya negara Palestina Merdeka di dalam perbatasan 1967 dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan penghentian total semua kegiatan permukiman Israel.

"Israel harus sepenuhnya menghentikan kebijakan permukiman sebab permukiman itu tidak sah menurut hukum internasional serta memberi kesempatan sejati bagi tercapainya penyelesaian dua-negara sesungguhnya," kata Asselborn dalam taklimat yang diselenggarakan bersama Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Malki di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan.

Ia menyeru Israel, agar mencabut blokade yang diberlakukan atas Jalur Gaza dan membuka kembali tempat penyeberangan perbatasan di daerah kantung pantai itu.

Pada Jumat (21/3), penyelidik hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh Israel melakukan pembersihan suku dengan mengusir orang Palestina ke luar Jerusalem Timur dan menyampaikan keraguan bahwa Israel dapat menerima Negara Palestina dalam situasi saat ini.

Asselborn mengemukakan hal itu setelah melihat kemacetan dalam pembicaraan perdamaian dan peningkatan perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat serta Jerusalem Timur, yang diharapkan oleh rakyat Palestina menjadi tempat bagi negara dan ibu kota masa depan mereka.

Richard Falk, Pelapor Khusus PBB mengenai HAM di Wilayah Palestina, mengatakan dalam satu taklimat,"Kebijakan Israel berisi ciri khas kolononialisme, apartid dan pembersihan suku. Praktik yang tidak bisa diterima."

Selain itu, ia menilai, "Setiap penambahan perluasan permukiman atau setiap peristiwa pemusnahan rumah adalah cara memburuknya situasi yang dihadapi rakyat Palestina dan mengurangi prospek yang mereka miliki sebagai hasil dari apa yang diharapkan sebagai perundingan perdamaian."

Ketika ditanya mengenai tuduhannya tentang pembersihan suku, Falk mengatakan, lebih dari 11.000 orang Palestina telah kehilangan hak mereka untuk tinggal di Jerusalem sejak 1996 akibat tindakan Israel memberlakukan hukum tinggal yang menguntungkan orang Yahudi dan mencabut izin tinggal orang Palestina.

Sementara itu, Israel menyatakan "penolakan Palestina untuk mengakuinya sebagai negara Yahudi" adalah penghalang utama bagi terwujudkan perdamaian.

Presiden AMerika Serikat Barack Obama pekan lalu menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas agar "membantu menembus kebuntuan", dan mengatakan kedua pihak "harus mengambil resiko politik sebelum tenggat 29 April" bagi tercapainya kesepakatan kerangka kerja.
(Uu.C003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014