Baghdad (ANTARA News) - Kekerasan di berbagai wilayah Irak pada hari Selasa menewaskan 19 orang, termasuk delapan orang yang meninggal dalam serangan terhadap patroli angkatan darat, di tengah kerusuhan terburuk Irak yang berlarut-larut sejak tahun 2008.

Pertumpahan darah terjadi hanya beberapa pekan sebelum Irak dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan nasional pertama kalinya sejak tahun 2010, kendati sebelumnya pada Selasa, pemilu mengalami kekacauan ketika seluruh anggota komisi pemilihan mengundurkan diri karena adanya unsur campur tangan, lapor AFP.

Gelombang kerusuhan yang berlangsung dalam bulan-bulan terakhir ini terutama didorong oleh kemarahan minoritas Arab Sunni, yang menduga bahwa pemerintahan pimpinan Syiah serta pasukan keamanan telah bertindak secara sewenang-wenang.

Kerusuhan juga merupakan imbas dari perang saudara yang sedang terjadi negara tetangga Irak, Suriah.

Dalam serangan mematikan hari Selasa, gerilyawan-gerilyawan menembaki patroli angkatan darat di Tarmiyah, yang terletak di sebelah utara ibukota, kata para pejabat keamanan dan medis.

Delapan orang tewas, termasuk tujuh tentara. Empat belas orang lainnya, termasuk 10 tentara, mengalami luka-luka.

Tarmiyah merupakan kota yang sebagian besar wilayahnya dihuni warga Arab Sunni, terletak 45 kilometer dari Baghdad, ibukota yang kerap dilanda kekerasan mematikan --dari penembakan hingga pemboman besar.

Serangan-serangan lainnya di negara itu, yaitu di wilayah-wilayah yang dihuni mayoritas Sunni, menyebabkan 11 orang tewas.

Di Baghdad, sebuah bom mobil di dekat sebuah masjid di kompleks perumahan Saidiyah menewaskan tiga orang dan melukai delapan lainnya.

Serangan-serangan senjata dan pemboman di dan sekitar kota-kota rusuh, yaitu Baquba, Mosul dan Tikrit --semuanya berada di utara Baghdad-- menyebabkan delapan lainnya tewas.

Di antara korban meninggal itu adalah tiga polisi dan seorang perempuan yang bekerja pada kantor koalisi politik Perdana Menteri Nuri al-Maliki.

Tidak ada kelompok yang menyatakan bertanggung jawab terhadap pertumpahan darah itu, namun gerilyawan-gerilyawan Suni, termasuk mereka yang terkait dengan Negara Islam Irak dan kelompok jihadis Levan, merupakan pihak-pihak yang biasanya dituding bertanggung jawab.

Sudah lebih dari 400 orang yang dalam bulan ini telah kehilangan nyawa mereka hingga meningkatkan jumlah korban tewas menjadi 2.100 orang sejak awal tahun ini, demikian menurut data AFP yang dikumpulkan berdasarkan laporan dari sumber-sumber keamanan dan medis.

Para analis dan diplomat telah menyerukan otoritas pimpinan Syiah agar berupaya lebih keras untuk merangkul minoritas Suni yang tak puas dalam upaya mengurangi dukungan bagi gerakan-gerakan militan.

Namun, dengan akan dilangsungkannya pemilihan pada 30 April mendatang, para pemimpin politik terlihat enggan untuk menunjukkan sikap kompromi.


Penerjemah: Tia Mutiasari

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014