Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta para pemilik media, terutama yang terlibat aktif dalam politik praktis, untuk menghormati prinsip dan etika jurnalistik guna mewujudkan pers yang sehat.

"Saya sudah menyerukan agar mereka (pemilik media.red) tidak ikut membuat pers nasional menjadi tidak sehat," katanya di Gedung Dewan Pers Jakarta, Rabu, usai acara pemaparan hasil survei mengenai "Independensi dan Konvergensi Media".

Ia mengakui bahwa pemilik media juga memiliki hak atas medianya, tetapi juga harus tetap harus proporsional, artinya dalam batas-batas yang wajar dan bisa dimengerti publik.

Oleh karena itu, katanya, pers harus independen demi kepentingan publik dan tidak boleh berpihak pada kepentingan siapapun.

"Independensi pers tumbuh kalau para jurnalisnya punya sikap profesionalisme yang tinggi," katanya.

Sebelumnya, dalam acara itu Muzayin Nazaruddin dari Masyarakat Peduli Media memaparkan hasil survei atau analisis terhadap kecenderungan pemberitaan empat grup media nasional di Indonesia.

Dalam pemaparannya, ia menyebut iklan politik dari dua pemilik media televisi di medianya cenderung tinggi dibanding media lainnya sehingga perlu ada regulasi untuk menjamin independensi media secara kolaboratif antyara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Senada dengan itu, Amir Efendi Siregar dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media) mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukannya menyimpulkan bahwa media-media yang dimiliki oleh elite politik sering digunakan untuk kepentingan politik mereka.

"Iklan politik untuk kepentingan pemilik media medapat porsi yang sangat besar di medianya, termasuk iklan terselubung," katanya.

Oleh karena itu, Amir merekomendasikan agar Dewan Pers turut melindungi independensi media seperti memberikan teguran secara aktif dan reguler atas pelanggaran prinsip-prinsip independensi dan netralitas media yang dilakukan pers Indonesia.



Titik balik

Sementara itu, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) Nurjaman Mochtar mengingatkan tahun 2014 akan menjadi titik balik bagi penyadaran publik bahwa iklan politik di televisi itu tidak akan banyak artinya.

"Iklan memang membuat orang terkenal tetapi untuk tingkat elektabilitas belum tentu. Dengan kata lain popularitas tidak seiring dengan elektabilitas," ujarnya.

Ia menyebut ada tokoh nasional yang memasang iklan terus-menerus di TV tapi berdasarkan hasil survei, namanya tidak naik-naik.

Tetapi, lanjutnya, ada juga tokoh yang tidak memasang iklan di TV tetapi ternyata elektabilitasnya malah naik terus.

Bahkan, menurut Nurjaman, pemilik televisi yang semakin sering tampil di televisinya bisa membuat TV-nya tidak ditonton orang.

Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014